Rabu, 15 Oktober 2025
Menu

Cuti Haid dan Realitas di Dunia Kerja Indonesia

Redaksi
Ilustrasi Organ Vital Dalam Wanita | Ist
Ilustrasi Organ Vital Dalam Wanita | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Belakangan ini, isu cuti haid kembali ramai diperbincangkan di Indonesia. Di tengah maraknya perbincangan seputar kesejahteraan pekerja perempuan dan keseimbangan kerja, banyak yang mulai mempertanyakan seberapa efektif kebijakan cuti haid diterapkan di dunia kerja saat ini. Meski sudah diatur dalam undang-undang, praktik di lapangan sering kali berbeda dengan aturan yang tertulis.

Dasar Hukum Cuti Haid di Indonesia

Aturan mengenai cuti haid sebenarnya sudah lama ada dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia. Ketentuannya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tepatnya pada Pasal 81 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:

“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

Artinya, pekerja perempuan memiliki hak untuk tidak bekerja selama dua hari pertama masa haid, apabila kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk bekerja. Kebijakan ini bertujuan melindungi kesehatan dan kesejahteraan perempuan, terutama dalam menghadapi nyeri menstruasi atau kondisi fisik yang melemah.

Selain itu, ketentuan ini juga ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). Meski sempat menuai perdebatan, pasal mengenai cuti haid tetap dipertahankan dan menjadi bagian dari hak normatif pekerja perempuan

Kenapa Isu Cuti Haid Ramai Lagi

Cuti haid kembali disorot karena semakin banyak pekerja perempuan yang membagikan pengalaman mereka di media sosial. Ada yang mengaku sulit mendapatkan izin cuti haid, bahkan harus menunjukkan bukti medis untuk dapat izin dari perusahaan. Sebaliknya, ada pula perusahaan yang sudah mulai lebih terbuka dan fleksibel dengan memberikan cuti haid tanpa perlu surat dokter.

Perdebatan ini mencerminkan adanya kesenjangan antara regulasi dan pelaksanaan di lapangan. Banyak pihak menilai bahwa budaya kerja di Indonesia masih cenderung menormalisasi ketidakhadiran perempuan karena alasan kesehatan sebagai bentuk kelemahan, bukan hak.

Tantangan dalam Penerapannya

Meskipun sudah diatur dengan jelas, pelaksanaan cuti haid sering kali terkendala oleh beberapa faktor, seperti:

1. Kurangnya sosialisasi dan pemahaman dari pihak perusahaan tentang hak cuti haid.

2. Stigma terhadap pekerja perempuan yang dianggap kurang produktif saat haid.

3. Minimnya pengawasan dari pemerintah terkait pelaksanaan hak-hak pekerja perempuan.

Kondisi ini membuat sebagian besar perempuan memilih tetap bekerja meski dalam kondisi tidak nyaman, demi menghindari penilaian negatif dari atasan atau rekan kerja.

Menuju Lingkungan Kerja yang Lebih Inklusif

Diskusi publik soal cuti haid menjadi momentum penting untuk membangun lingkungan kerja yang lebih inklusif dan empatik terhadap kebutuhan perempuan. Banyak negara lain sudah menerapkan kebijakan serupa, bahkan dengan pendekatan yang lebih progresif—seperti Jepang, Spanyol, dan Korea Selatan yang memberi fleksibilitas lebih luas bagi pekerja perempuan selama masa menstruasi.

Di Indonesia sendiri, langkah awalnya bisa dimulai dengan mengedukasi perusahaan agar memahami bahwa cuti haid bukan bentuk kemalasan, melainkan kebutuhan biologis yang nyata. Transparansi dan komunikasi terbuka antara pekerja dan pemberi kerja juga penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih manusiawi

Cuti haid bukan hanya soal izin tidak bekerja, tapi juga bentuk pengakuan terhadap hak kesehatan reproduksi perempuan. Dengan regulasi yang sudah jelas dan dukungan budaya kerja yang empatik, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih peduli terhadap kesejahteraan pekerja perempuan.

Sudah saatnya cuti haid tidak lagi menjadi isu yang tabu, melainkan bagian dari langkah menuju dunia kerja yang lebih adil dan setara.*