Ketika Kekuasaan Menindas Ekonomi Rakyat

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Di tengah retorika Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai pilar ekonomi kerakyatan, apa yang terjadi di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, menghadirkan paradoks tajam. Koperasi Karyawan Angkasa Pura (KOKAPURA), yang telah beroperasi lebih dari dua dekade, menjadi korban penggusuran sepihak oleh manajemen PT Angkasa Pura Indonesia di bawah Direktur Utama Rizal Pahlevi. Keputusan ini bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan konflik nilai antara kepentingan rakyat kecil dan kekuatan korporasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
KOKAPURA bukan sekadar koperasi biasa. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (2024), koperasi di Indonesia memiliki lebih dari 127 ribu unit aktif yang menyerap sekitar 35 juta tenaga kerja. Koperasi merupakan bentuk ekonomi solidaritas yang menjembatani distribusi kesejahteraan bagi pekerja, keluarga, dan komunitas lokal. KOKAPURA, yang juga didirikan oleh putra pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai, mencerminkan dimensi historis dan sosial yang melekat pada institusi publik. Dengan kata lain, penggusuran koperasi ini bukan sekadar pengalihan aset ekonomi, tetapi juga penghilangan simbol kedaulatan rakyat atas ruang ekonomi mereka sendiri.
Kejanggalan kebijakan muncul dari proses “seleksi mitra baru” yang digelar Angkasa Pura pada Mei 2025. Meski KOKAPURA memiliki perjanjian kerja sama yang sah hingga 31 Desember 2025, tercatat dalam Berita Acara Kesepakatan BAC.DPS.V.CN.0935/XII/2024, kerja sama itu diputus dengan alasan koperasi tidak lolos seleksi. Ironisnya, pemenang seleksi adalah PT Pasifik Energi Trans, perusahaan yang sebelumnya dipimpin Rizal Pahlevi sebelum menjabat Dirut Angkasa Pura. Dugaan kolusi dan konflik kepentingan ini menghadirkan aroma penyalahgunaan kekuasaan yang seharusnya dicegah oleh prinsip tata kelola BUMN yang sehat.
Dari perspektif regulasi, tindakan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3, yang menegaskan larangan penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. Selain itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa koperasi harus diberi ruang tumbuh sebagai mitra strategis ekonomi rakyat, bukan dikalahkan oleh mekanisme seleksi yang manipulatif. Praktik penggusuran seperti ini, jika dibiarkan, menimbulkan preseden buruk, di mana koperasi yang sah secara hukum dan berkontribusi nyata bisa disingkirkan demi kepentingan bisnis tertentu.
Secara filosofis, koperasi merupakan manifestasi ekonomi solidaritas ala Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi menekankan prinsip partisipasi, keadilan, dan kesetaraan, berbeda dengan orientasi profit semata yang kerap mewarnai perusahaan swasta. Ketika BUMN, yang seharusnya menjadi pelindung ekonomi rakyat, justru menindas koperasi, terjadi ketidaksesuaian nilai yang tajam, yakni kekuasaan menjadi instrumen penindasan, bukan pemberdayaan.
Analisis dari literatur ekonomi politik menunjukkan bahwa kasus ini adalah contoh klasik state capture, di mana pejabat publik menggunakan otoritas untuk menguntungkan entitas bisnis tertentu yang memiliki hubungan pribadi atau historis. Hal ini diperkuat oleh penelitian Kurniawan (2022) tentang dinamika BUMN di Indonesia, yang menemukan bahwa konflik kepentingan di level eksekutif sering berakibat pada distorsi kebijakan publik dan melemahkan institusi ekonomi rakyat.
Jika tidak segera ditangani, kasus KOKAPURA akan menjadi preseden berbahaya. Ribuan koperasi lain di Indonesia, yang sejatinya menjadi penopang perekonomian rakyat, bisa tergusur dengan dalih “efisiensi” atau “seleksi mitra.” Akibatnya, tujuan strategis pemerintah untuk menguatkan ekonomi kerakyatan melalui koperasi hanya akan menjadi jargon politik tanpa implementasi nyata.
Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) perlu menyelidiki dugaan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang dalam penggusuran ini. Kementerian BUMN dan Kementerian Koperasi & UKM juga harus memastikan bahwa BUMN tidak menjadi alat korporasi elitis yang menyingkirkan mitra rakyat. Negara wajib hadir sebagai penegak keadilan, menjaga prinsip ekonomi kerakyatan, dan melindungi koperasi sebagai instrumen kedaulatan rakyat. Jika pemerintah abai, yang dirugikan bukan hanya KOKAPURA, tetapi seluruh fondasi moral dan sosial dari ekonomi nasional yang berbasis keadilan dan solidaritas.*