Rabu, 01 Oktober 2025
Menu

Mahfud MD: Cucu Saya Juga Keracunan MBG di Jogja

Redaksi
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD | YouTube Mahfud MD Official
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD | YouTube Mahfud MD Official
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku bahwa dua cucunya mengalami keracunan usai memakan makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disajikan sekolah mereka.

“Cucu saya juga keracunan… Iya, MBG. Di Jogja. Cucu ponakan ya,” ungkap Mahfud lewat kanal YouTube Mahfud MD Official dikutip, 1/10/2025.

Mahfud menjelaskan bahwa kedua cucu dan beberapa temannya di sekolah yang sama mengalami keracunan dengan gejala muntah setelah makan menu MBG. Walaupun demikian, ia tidak mengungkapkan secara detail waktu terjadinya keracunan tersebut.

“Satu kelas itu delapan orang langsung muntah-muntah. Nah yang enam itu, enam dan kakaknya, kakak yang masih dirawat di rumah sakit itu habis muntah-muntah sehari disuruh pulang, bisa dirawat di rumah,” jelas Mahfud.

“Tapi yang ini (cucu satunya lagi) sampai empat hari di rumah sakit. Ada dua, bersaudara. Beda kelas. Di sekolah yang sama. Masih dirawat di rumah sakit sampai kemarin saya masih di Jogja. Sekarang mungkin hari ini sudah (membaik),” lanjut dia.

Di sisi lain, Mahfud juga mengaku paham atas pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut bahwa kesalahan atau kekurangan dalam program MBG di Indonesia hanyalah 0,00017 persen dari total penerima manfaat. Tetapi, ia membandingkan dengan kecelakaan penerbangan. Walaupun terjadi satu kecelakaan saja, tapi dapat membuat publik geger karena hal ini menyangkut nyawa.

Dengan demikian, Mahfud menegaskan bahwa korban keracunan MBG janganlah dilihat sebagai sekadar angka. Namun, permasalahan ini juga harus diteliti apa penyebabnya.

“Tapi kan juga jutaan pesawat terbang di dunia ini lalu lalang setiap hari kecelakaan satu saja tidak sampai 0,00017 persen orang sudah ribut, karena menyangkut nyawa, kesehatan. Jadi bukan persoalan angka, ini harus diteliti lagi apa masalahnya,” tegas dia.

Mahfud memandang bahwa MBG memiliki tujuan yang mulia karena menyediakan kebutuhan makan dan gizi terkhusus bagi anak-anak kurang mampu. Akan tetapi, program ini juga harus didukung dan juga dievaluasi.

Hal yang mendesak untuk diperbaiki menurutnya adalah tata kelola programnya. Perbaikan juga dilakukan untuk memperjelas siapa pihak penyelenggara MBG pada tingkat bawah ketika pemerintah daerah secara struktural tidak dilibatkan dalam pelaksanaannya.

“Begitu ada masalah keracunan, mereka (pemda) yang turun. Ada yang satu sekolah, guru tidak digaji, tidak ikut panitia tapi ikut membersihkan ompreng. Lalu ada yang hilang dia suruh ganti, padahal dia bukan panitia. Iya kan,” tutur Mahfud.

Kemudian, Mahfud juga menyinggung terkait tata kelola MBG. Ia mempertanyakan dasar hukum MBG yang tidak jelas, yaitu Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP), atau undang-undang. Padahal, kata dia, untuk melegalkan suatu program yang anggarannya besar, seharusnya ada dasar hukumnya.

Undang-undang sendiri sudah mengatur Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau prinsip-prinsip sebagai pedoman bagi pemerintah untuk mengeluarkan keputusan dan tindakan.

“Tata kelolanya kan minimal asas kepastian hukumnya nggak jelas. Siapa yang melakukan apa, yang bertanggungjawab ini siapa kepada siapa, dari siapa kepada siapa, kan kita tidak tahu,” beber Mahfud.

“Misalnya asas kepastian hukum tidak tersedianya peraturan perundang-undangan yang bisa diakses. Kalau kita mau mengatakan, ‘oh itu di kabupaten sana atau di sekolah sana atau di pengelola dapur nomor sekian, pengelolanya tidak benar, terus apa ukuran ketidakbenaran’. Kan harus ada tata kelolanya yang diatur, misal dengan PP atau dengan perpres. Itu kan harus begitu. (Sejauh ini tidak ada semua?) iya,” lanjut dia.

Selain memperjelas prosedur dan standar pelaksanaan MBG dan kewenangan pihak-pihak di lapangan, seperti pemerintah daerah, kepala sekolah atau guru, kepastian hukum ini, ujar Mahfud, juga akan mempertegas tanggung jawab atau parameter dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) itu sendiri.

“Kepastian hukum itu pentingnya adalah agar orang bisa memprediksi, kalau saya melakukan ini, kalau benar ini akibatnya, kalau salah saya akan menerima akibat ini,” pungkas Mahfud.*