Film-film yang Mengangkat Tragedi G30S PKI

FORUM KEADILAN – Sejarah kelam G30S/PKI pada 1965–1966 telah menjadi sumber inspirasi dan konflik dramatik bagi sineas Indonesia dan internasional. Beberapa film muncul sebagai upaya menyuarakan narasi yang selama ini kurang terdengar, sedangkan lainnya memilih jalan “narasi resmi” negara atau malah propaganda era Orde Baru.
Dalam artikel ini, kita akan mengulas beberapa film penting yang membahas tema G30S/PKI: latar belakang cerita, pemeran, serta di mana kita bisa menontonnya. Semoga membantu bagi Anda yang ingin memahami kompleksitas sejarah lewat layar lebar.
Jagal /The Act of Killing (2012)
Sinopsis
Film ini adalah karya dokumenter yang sangat kontroversial. Sineas Joshua Oppenheimer bersama timnya menyoroti bagaimana para pelaku penumpasan terhadap yang diduga anggota atau simpatisan PKI tidak hanya membunuh, tetapi kemudian “menulis sendiri” sejarah mereka. Mereka diwawancarai tentang cara pembunuhan, imajinasi mereka terhadap kekerasan, dan bagaimana mereka memproyeksikan perbuatan itu sebagai “aksi heroik”.
Film ini bukan rekonstruksi kronologis namun menggabungkan narasi memori pelaku, adegan imajinasi ulang, dan komentarnya sendiri atas narasi sejarah.
Sebagai contoh, Anwar Congo—salah satu tokoh utama dalam film—mengisahkan bagaimana ia menjerat korban dengan kawat, melempar ke sungai, atau melakukan siksaan yang ekstrem, lalu memperlakukannya dengan santai di masa kini. Film ini mencoba membuka tabir ingatan para pelaku, bukan semata menceritakan korban.
Karena ini film dokumenter, “pemeran” utamanya adalah para pelaku nyata—Anwar Congo dan rekan-rekannya. Film ini diproduseri Signe Byrge Sørensen dan sekaligus disutradarai oleh Joshua Oppenheimer bersama Anonim dan Christine Cynn.
Pemutaran resmi di Indonesia terbatas karena kendala sensor. Namun, versi lengkapnya kadang ditayangkan di festival film hak asasi manusia atau lembaga budaya. Versi digital dan salinan lengkap dapat ditemukan di platform internasional dokumenter atau arsip festival film. (Ketersediaan dapat berubah karena hak tayang dan regulasi lokal.
Senyap / The Look of Silence (2014)
Sinopsis
Film ini bisa dianggap “saudara” dari The Act of Killing, namun dari sudut pandang korban dan keluarga korban. Protagonisnya adalah Adi Rukun, adik seorang korban pembantaian yang oleh pelaku dianggap simpatisan PKI. Adi berusaha berhadapan langsung dengan pelaku—tak hanya mendengarkan, tapi menatap mereka, menanyakan “kenapa” dan bagaimana mereka bisa bertindak demikian. Film mengeksplorasi trauma, penyesalan, rasa takut, dan ingatan yang dipendam.
Senyap menyajikan dialog yang penuh ketegangan antara korban dan pelaku, kadang dalam kondisi sama ruang, kadang melalui wawancara jarak jauh, menghadirkan ketegangan moral.
Serupa dengan The Act of Killing, pemutaran publik terkadang melalui festival HAM atau acara pemutaran khusus di institusi budaya. Versi digital mungkin tersedia di platform film dokumenter atau sebagai bagian arsip. (Cek regulasi sensor lokal dan distribusi film dokumenter di Indonesia.)
40 Years of Silence: Sebuah Tragedi Indonesia (2009)
Sinopsis
Film dokumenter ini mengajak penonton menyelami dampak jangka panjang dari pembantaian 1965–1966 pada keluarga korban di Jawa dan Bali. Lewat wawancara mendalam, foto arsip, rekaman sejarah, dan narasi penyintas, film ini menyajikan kisah empat keluarga dengan latar belakang berbeda—agama, etnis, dan lokasi—bagaimana trauma itu diwariskan generasi ke generasi.
Tak hanya fokus pada kekerasan fisik, film ini membahas stigma sosial, pemisahan keluarga, bagaimana banyak korban dicap “keluarga komunis,” dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari di bawah bayang-bayang ketakutan.
Sutradara adalah Robert Lemelson, seorang antropolog, bekerjasama dengan tim produksi dari Elemental Productions. Narator termasuk Lemelson sendiri, Romo Baskara Wardaya, Geoffrey Robinson, John Roosa.
Versi digital atau pemutaran khusus bisa tersedia lewat arsip festival atau perpustakaan film dokumenter. Beberapa universitas atau lembaga HAM juga pernah menyelenggarakan pemutaran film ini. (Cek ketersediaan di YouTube, platform edukasi film dokumenter, atau situs resmi produksi.
Eksil (The Exiles) (2022)
Sinopsis
Film dokumenter Eksil mengangkat kisah sepuluh orang Indonesia yang tak dapat kembali ke tanah air setelah peristiwa 30 September 1965. Mereka menjadi “eksil” yang hidup di Eropa, menghadapi tantangan status kewarganegaraan, kerinduan, identitas, dan rasa dilematis antara negeri asuh dan kampung halaman.
Penceritaannya dibagi ke dalam tiga segmen besar: masa peristiwa 1965–1966, pengalaman hidup di luar negeri (kultur, birokrasi, diskriminasi), dan refleksi diri sebagai orang yang jauh dari tanah air. Film ini juga menggunakan footage arsip dan animasi untuk menghidupkan kembali suasana masa lalu.
Sutradara sekaligus penulis adalah Lola Amaria, bersama tim produksi dokumenter. Beberapa orang eksil yang diwawancara antara lain Hartoni Ubes, Sardjio Mintardjo, Gede Arka, dan lainnya.
Film ini sering dianggap sebagai “counter-narrative” terhadap film propaganda G30S/PKI, karena menampilkan perspektif korban atau orang yang dianggap simpatisan komunis tapi tidak diakui negara. Namun, Eksil memenangkan penghargaan Best Documentary Feature pada Festival Film Indonesia 2023 dan juga Best Film di Jogja-NETPAC Asian Film Festival.
Pemutaran film ini umumnya melalui festival film dokumenter, lembaga budaya, atau bioskop independen. Anda dapat mengecek platform lokal dokumenter atau kanal resmi sutradara / produksi untuk versi digital atau DVD. (Platform streaming lokal mungkin menayangkan versi dokumenter Indonesia terkini.)
You and I (2020)
Sinopsis
You and I adalah film dokumenter tentang dua perempuan, Kaminah dan Kusdalini, yang bertemu di penjara sebagai tahanan politik muda di tahun 1960-an karena aktivitas mereka di kelompok pemuda atau organisasi wanita yang dikaitkan dengan ideologi kiri. Setelah dibebaskan, mereka tetap bersama sebagai sahabat seumur hidup meski dibebani stigma dan penderitaan yang mendalam.
Di sepanjang film, kita melihat keseharian mereka di masa tua—perjuangan melawan penyakit, memori yang memudar, rivalitas antara melupakan dan mengingat—dengan latar belakang trauma sejarah yang terus membayangi.
Sutradara adalah Fanny Chotimah. Produksi dilakukan oleh KawanKawan Media, Super 8mm, dan partisipasi Indonesia. Kamera oleh Ika Wulandari dan Agustian Tri Yuanto.
Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI
Sinopsis
Film ini adalah docu drama propaganda yang sangat dikenal pada era Orde Baru. Disutradarai oleh Arifin C. Noer, film menggambarkan versi “resmi” narasi pemerintah tentang kudeta 30 September 1965: bahwa PKI merencanakan penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat, kemudian digagalkan oleh Jenderal Soeharto dan militer.
Film ini menunjukkan adegan dramatis penculikan jenderal, adegan penyiksaan—terkadang dilebih-lebihkan—dansalah satu adegan kontroversial adalah penggambaran wanita Gerwani menari di sekitar jenderal yang disiksa. Setelah kekacauan, film ini menampilkan pidato kehormatan, seruan melawan komunisme, dan peringatan ideologis bagi masyarakat.
Pemeran utama antara lain Amoroso Katamsi, Umar Kayam, Syubah Asa. Sutradara: Arifin C. Noer. Produksi: Perum Produksi Film Negara (PFN).
Gie (2005)
Sinopsis
Film ini adalah biografi dari aktivis muda Soe Hok Gie. Dia kritis terhadap kebijakan pemerintah Soekarno, nasionalisme yang terkadang represif, dan peran generasi muda dalam pembentukan masa depan Indonesia. Film menampilkan pergulatan politik mahasiswa, konflik idealisme, pengalaman pribadi Gie, dan ketidakpuasan terhadap korupsi dan ketidakadilan.
Pemeran utama: Nicholas Saputra sebagai Gie. Wanita pendamping diperankan oleh Wulan Guritno. Sutradara: Riri Riza.
Surat dari Praha / Letters from Prague (2016)
Sinopsis
Film drama romantis ini mengisahkan Laras, seorang wanita yang mewarisi rumah ibunya dengan syarat bahwa ia mengirim sekotak surat lama kepada Jaya, lelaki Indonesia yang tinggal di Praha. Jaya adalah seorang mahasiswa Indonesia yang memilih menetap di Praha pasca peristiwa politik di tanah air (termasuk peristiwa G30S/PKI). Laras kemudian menelusuri sejarah cintanya dan politik, menemukan kisah pengasingan, penantian, dan kerinduan dalam kehidupan Jaya di negeri asing.
Film ini menggabungkan unsur politik dan romantis: kerinduan terhadap tanah air, konflik batin orang yang memilih tinggal jauh dari kampung halaman, serta bagaimana sejarah politik masa lampau melibatkan kehidupan personal.
Pemeran utama: Julie Estelle, Tio Pakusadewo, Rio Dewanto, Widyawati. Sutradara: Angga Dwimas Sasongko.
Film-film tentang G30S/PKI hadir dengan narasi yang beragam—ada yang propaganda, ada yang dokumenter, ada pula yang membungkusnya dengan kisah personal. Menontonnya bisa memberi gambaran lebih luas tentang bagaimana sejarah ditulis, dilihat, dan mengingat.*