Selasa, 30 September 2025
Menu

MK Nilai Tapera Tumpang Tindih dengan Skema Jaminan Sosial Lain

Redaksi
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 29/9/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 29/9/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) tumpang tindih bagi pekerja yang sudah terlibat dalam skema jaminan sosial lain. Apalagi, kata MK, sudah banyak opsi skema perumahan dalam program tersebut.

Adapun dalam putusannya, MK membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera usai mengabulkan permohonan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang tertuang dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 yang menguji konstitusionalitas kata ‘wajib’ untuk pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta Tapera.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra mulanya menyinggung soal adanya program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berfungsi untuk menjamin kesejahteraan di masa tua, tapi juga memperoleh manfaat berupa fasilitas pembiayaan perumahan yang bersumber dari dana investasi JHT berupa pinjaman uang muka perumahan, kredit kepemilikan rumah, hingga pinjaman renovasi perumahan.

“Dengan demikian, pekerja yang menjadi peserta JHT pada hakikatnya sudah memiliki akses terhadap tabungan maupun fasilitas pembiayaan perumahan, tanpa harus dibebani iuran tambahan lainnya,” katanya di ruang sidang Gedung MK, Senin, 29/9/2025.

Mahkamah juga membandingkan dengan adanya program serupa bagi aparatur sipil negara (ASN) yang bisa mengikuti program ASN Housing Program yang dikelola oleh PT Taspen melalui program Taspen Properti (Taspro).

“Dengan adanya program Taspro menjadi jelas bahwa Tapera bukanlah satu-satunya instrumen dan justru menimbulkan pertanyaan mengapa pekerja, dalam hal ini ASN, masih harus diwajibkan mengikuti Tapera, sementara mereka telah memiliki akses langsung terhadap skema perumahan resmi yang dijalankan oleh Taspro,” katanya.

Mahkamah juga turut membandingkan program serupa dengan prajurit TNI dan Polri yang juga mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) atau Pinjaman Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (PUM KPR) Asabri yang dikelola oleh PT Asabri.

Apalagi, MK Juga menegaskan bahwa bank juga memiliki skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dapat dipilih secara sukarela oleh masyarakat tanpa adanya paksaan dari negara.

Oleh karena itu, Mahkamah berpandangan bahwa dengan banyaknya alternatif yang tersedia bagi pekerja dan masyarakat membuat adanya Tapera memberikan beban ganda bagi kelompok pekerja.

“Dengan memperhatikan seluruh alternatif dan akses yang telah tersedia bagi berbagai kelompok pekerja dan warga negara terhadap skema pembiayaan perumahan, Mahkamah menilai bahwa keberadaan Tapera sebagai kewajiban, terlebih yang disertai dengan sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih (overlapping), tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada,” katanya.

Sebelumnya, MK menyatakan bahwa UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera dinyatakan inkonstitusional. Mahkamah memberikan jangka waktu dua tahun kepada Pemerintah dan DPR untuk menata ulang sesuai dengan amanat UU Nomor 1 Tahun 2011.

Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh KSBSI yang menguji konstitusionalitas kata ‘wajib’ untuk pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta Tapera.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo saat membacakan amar putusan di ruang sidang, Senin, 29/9.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut bahwa Pasal 7 ayat 1 UU Tapera yang merupakan ‘pasal jantung’ telah dinyatakan bertentangan, maka MK menegaskan bahwa Tapera harus dinyatakan inkonstitusional.

“Dengan demikian, oleh karena Pasal 7 ayat 1 UU 4/2016 adalah ‘pasal jantung’ yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maka tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan UU 4/2016 secara keseluruhan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” kata Enny Nurbaningsih.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi