G30S/PKI dan Jejak Konspirasi Asing

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Indonesia adalah ladang penuh luka yang tak kunjung sembuh. Tragedi 30 September 1965 menjadi salah satu yang paling kelam, ketika sesama anak bangsa saling menghabisi, dan tanah air yang baru saja berusia dua dekade merdeka kembali bersimbah darah. Narasi resmi selama puluhan tahun menyempitkan tragedi itu menjadi sekadar pengkhianatan PKI. Namun, sejarah bukan batu monolit. Ia cair, berlapis, dan kerap dikendalikan oleh mereka yang berkuasa.
Kini, ketika dokumen-dokumen rahasia dari Washington dan London mulai dibuka, gambaran lain muncul. Tragedi 1965 bukanlah peristiwa domestik semata, melainkan bagian dari persaingan global antara blok Barat dan Timur. Indonesia, dengan segala kerentanannya, diperlakukan tak lebih dari pion di papan catur geopolitik.
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat memproklamasikan Doktrin Truman. Kebijakan containment lahir untuk menahan laju komunisme di seluruh dunia. Ketika PKI tumbuh menjadi partai komunis terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan Tiongkok, dengan jutaan anggota dan simpatisan, Jakarta segera masuk radar Washington. Sukarno, dengan politik luar negeri yang condong ke Moskow dan Beijing, dianggap ancaman serius. Hubungan itu makin mesra ketika Uni Soviet menyuplai alutsista modern untuk perebutan Irian Barat.
Bagi Barat, keberhasilan Indonesia menundukkan Belanda melalui Perjanjian New York 1962 bukan kabar baik. Mereka melihat Sukarno kian percaya diri, sementara PKI terus memperluas basis massa. Ketidakstabilan domestik mulai dari pemberontakan PRRI dan Permesta hingga kegelisahan elite Angkatan Darat menjadi pintu masuk bagi operasi intelijen asing.
Joseph B. Smith, eks agen CIA, dalam Portrait of a Cold Warrior menyingkap bagaimana Amerika mendanai kelompok oposisi, termasuk Masyumi, serta mengirimkan pilot bayaran, Allen Pope. Walau gagal menggulingkan Sukarno, operasi ini memberi sinyal keras bahwa Washington tak akan berhenti. Inggris pun tak tinggal diam. Harold Macmillan, perdana menteri kala itu, pernah mendesak Presiden Kennedy agar “menghentikan Sukarno.” MI6 mengirim Norman Reddaway, pakar propaganda, sementara CIA menugaskan Marshall Green sebagai duta besar di Jakarta.
Bahkan seorang pastor Katolik, Pater Beek, disebut-sebut sebagai agen lapangan, menggerakkan jaringan mahasiswa dan ormas untuk melawan komunisme. CIA dan MI6 tidak hanya menghembuskan propaganda, tetapi juga menyerahkan daftar nama ribuan anggota PKI kepada tentara Indonesia. Darah pun tumpah.
Namun konspirasi global tidak datang dari satu arah. Blok Timur pun membangun jaringan. KGB menempatkan agen-agen di Jakarta, Jerman Timur melalui Stasi membina mahasiswa Indonesia di Leipzig, Polandia dengan Departemen II, hingga Hungaria dengan AVH. Semua berebut pengaruh, menyiapkan pion yang kelak kembali untuk memperkuat barisan komunis.
Dengan demikian, tragedi 1965 bukan hanya hasil konflik internal. Ia adalah tabrakan kepentingan global yang meletakkan Indonesia sebagai arena pertarungan. Hannah Arendt dalam On Violence pernah menulis, kekerasan lahir ketika legitimasi runtuh. Kekerasan 1965 adalah bukti bagaimana negara gagal mengelola perbedaan, sementara kekuatan asing lihai menyulut bara.
Sayangnya, sejarah kemudian dituliskan dengan bias. Rezim Orde Baru menjadikan tragedi itu legitimasi kekuasaan, memonopoli narasi bahwa PKI adalah dalang tunggal. Di sisi lain, sebagian kelompok pascareformasi memandang negara sebagai satu-satunya pelaku kejahatan. Keduanya sama-sama menutup fakta lebih besar: bangsa ini pernah dijadikan pion dalam konspirasi global.
Benedict Anderson dalam Imagined Communities mengingatkan bahwa bangsa adalah konstruksi imajinasi kolektif. Ketika imajinasi itu dipenuhi propaganda asing, bangsa pun mudah diadudomba. Inilah yang terjadi pada 1965 dimana imajinasi tentang “bahaya laten” dijadikan senjata psikologis untuk memicu pembantaian.
Hari ini, kita dihadapkan pada peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena dokumen-dokumen yang dideklasifikasi memberi kesempatan menulis ulang sejarah dengan lebih jujur. Tantangan, karena luka itu masih hidup, diwariskan lintas generasi, menjadi bahan bakar dendam yang tak kunjung padam.
Rekonsiliasi nasional tak boleh berhenti pada perdebatan korban dan pelaku. Ia harus lebih jauh: menyadari bahwa tragedi itu lahir dari konspirasi global yang memperalat bangsa ini. Kesadaran itu penting agar kita tak lagi menjadi korban permainan geopolitik baru.
Prinsip “forgive but not forget” relevan di sini. Memaafkan untuk menyembuhkan luka, tetapi tidak melupakan agar tetap waspada. Rekonsiliasi bukan berarti melupakan sejarah, melainkan keberanian menuliskan ulang dengan jujur. Tanpa itu, kita hanya akan hidup dalam bayang-bayang masa lalu, rapuh menghadapi ancaman baru.
G30S/PKI adalah pengingat pahit bahwa kedaulatan bangsa bisa runtuh ketika kita gagal menjaga persatuan dan kewaspadaan. Menyingkap jejak konspirasi global bukan sekadar urusan akademik, tetapi fondasi moral untuk meneguhkan kembali kebangsaan. Karena bangsa yang gagal belajar dari sejarahnya, kata George Santayana, pasti akan mengulanginya.*