Londo Ireng di Era Jokowi: Polisi, Kekuasaan, dan Reinkarnasi Kolonialisme

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Dalam sejarah kolonial Hindia Belanda, hukum bukan sekadar perangkat aturan, melainkan instrumen penundukan. Sistem hukum kolonial berwajah pluralistik, diskriminatif, dan dualistik. Orang Eropa, Indo-Eropa, dan komunitas Tionghoa tunduk pada hukum Belanda yang disesuaikan, sementara pribumi hanya diberi ruang hukum adat sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial. Diskriminasi rasial dilembagakan, menciptakan jurang keadilan yang melebar. Pertanyaannya, apakah bangsa ini benar-benar telah meninggalkan masa itu, atau justru sedang menyaksikan kelahirannya kembali dalam rupa baru?
Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo kerap menjadi cermin gelap relasi antara hukum dan kekuasaan di era Jokowi. Alih-alih tampil sebagai pelindung masyarakat, polisi justru menjelma “begal hukum” sebagai alat kekuasaan yang melayani oligarki, cukong, dan rezim politik. Sejak dilantik pada 2021, jejak Polri semakin memperkuat kesan bahwa institusi ini bukan lagi garda demokrasi, melainkan algojo kekuasaan. Pilpres 2024 menjadi panggung nyata, dimana aparat sigap mengamankan kepentingan penguasa lama, hingga muncul anekdot populer, polisi adalah “Parcok” partai colongan kekuasaan.
Kasus Ferdy Sambo menjadi pintu masuk terbongkarnya Satgasus Merah Putih, unit misterius dengan kewenangan luas yang banyak pihak bandingkan dengan polisi rahasia rezim Shah Iran, SAVAK. Publik makin mafhum bahwa kepolisian bukan hanya penegak hukum, melainkan juga operator bayangan kekuasaan. Lebih buruk, praktik mafia internal menyeret nama perwira tinggi seperti judi online, bisnis narkoba, jual-beli jabatan, hingga keterlibatan dalam konflik sumber daya. Kekerasan terhadap demonstran, kriminalisasi ulama, aktivis, dan petani dalam sengketa agraria, serta rekayasa barang bukti dan saksi, memperkuat kesan bahwa Polri telah kehilangan mandat moral.
Data faktual menguatkan persepsi ini. Komnas HAM mencatat sepanjang 2024 ada 2.305 laporan dugaan pelanggaran HAM, dengan Polri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan. Dalam enam bulan pertama 2024 saja, Komnas HAM menerima 1.227 kasus dugaan pelanggaran HAM, dengan konflik agraria dan bisnis-HAM sebagai isu dominan. ICW menambahkan catatan kelam bahwa sepanjang 2015-2024 terdapat sedikitnya 50 kasus upaya kriminalisasi dan ancaman terhadap 123 pegiat antikorupsi. Bahkan pada 2025, seorang peneliti ICW menjadi korban doxing, menandakan represi kini merambah ruang digital.
Sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi menegaskan betapa reformasi hukum macet. Tak satu pun kasus pelanggaran HAM berat berhasil diselesaikan, meski pemerintah melalui Keppres Nomor 17 tahun 2022 telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu. Indeks Pembangunan Hukum 2022 menunjukkan skor penanganan HAM berat hanya 0,37, kategori buruk. Sistem peradilan pidana memperlihatkan betapa rentannya warga negara berhadapan dengan hukum. Mereka yang miskin dan lemah lebih mudah dikriminalisasi, sementara oligarki hidup nyaman dalam impunitas. Fenomena ini mengingatkan pada teori Michel Foucault tentang disciplinary power bahwa kekuasaan yang bekerja lewat pengawasan, represi, dan produksi ketakutan.
Analogi “Londo Ireng” adalah istilah bagi pribumi yang lebih bengis dari penjajah Belanda menjadi relevan. Jika Belanda mendirikan hukum diskriminatif demi kolonialisme, maka Jokowi dan Listyo Sigit membiarkan hukum menjadi alat oligarki. Bedanya, penghisapan hari ini dilakukan oleh bangsa sendiri terhadap bangsanya, tanpa malu dan tanpa empati. Seperti digambarkan Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks, kaum terjajah sering kali berubah menjadi penindas baru ketika memperoleh kuasa. Inilah wajah Londo Ireng dengan tubuh pribumi, mentalitas kolonial.
Rakyat hari ini hidup di bawah bayang-bayang penjajahan dalam negeri. Jika hukum kolonial Belanda memisahkan warga berdasarkan ras, maka hukum era Jokowi-Sigit memisahkan warga berdasarkan akses dan kedekatan dengan kekuasaan. Yang dekat dengan oligarki aman, yang kritis ditindas. Bahaya terbesar dari rezim Londo Ireng bukan hanya penindasan, melainkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap hukum. Sejarah membuktikan, ketika keadilan tak lagi berpihak pada rakyat, amuk massa dapat berubah menjadi energi kolosal yang meruntuhkan rezim manapun. Kritik terhadap Jokowi dan Listyo Sigit karenanya bukan sekadar kritik personal, tetapi seruan untuk menghentikan reinkarnasi kolonialisme dalam bentuk baru. Jika tidak, bangsa ini akan terus hidup dalam lingkaran penjajahan yang berganti wajah, dari Londo Ori menjadi Londo Ireng.*