Dosen Tetap Non-ASN di UPN Veteran Jakarta Resah, Status Terancam Kontraktualisasi

FORUM KEADILAN – Dosen tetap non-Aparatur Sipil Negara (ASN) di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta menyuarakan keresahan atas ketidakpastian status kepegawaiannya.
Meski telah diangkat secara resmi, menerima gaji tetap, dan melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi sebagaimana diatur undang-undang, mereka justru menghadapi manuver yang berulang untuk menurunkan status kepegawaian menjadi kontrak.
Bentuk manuver itu beragam, mulai dari wacana pengalihan status menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu, penetapan sebagai dosen tidak tetap, hingga mendorong pengunduran diri melalui penahanan hak-hak dasar. Kondisi ini membuat para dosen merasa martabat profesinya terancam.
Salah satu dosen tetap non-ASN UPN Veteran Jakarta, Aurora Jillena Meliala, SH, MH mengatakan, status mereka sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang kuat.
“Profesi dosen itu pekerjaan tetap, bukan kontrak. Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun regulasi dosen sudah jelas melarang pekerjaan tetap dikontrakkan. Kalau status kami diturunkan, itu tidak hanya merugikan dosen, tapi juga merusak kepastian hukum dan bisa jadi preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi,” ujarnya Aurora dalam keterangnnya, Kamis 25/9/2025.
Adapun isu ini dikaitkan dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN di mana aturan itu menyebutkan bahwa penataan pegawai non-ASN harus diselesaikan paling lambat Desember 2024, dan sejak UU berlaku, instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN.
Namun, menurut Aurora, terdapat dua catatan krusial. Pertama, istilah “penataan” tidak dijelaskan secara rinci, baik bentuk, mekanisme, maupun dasar koordinasi antarinstansi.
Kedua, definisi “instansi pemerintah” masih multitafsir. Pasalnya, Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) memiliki status khusus sesuai PP No. 23 Tahun 2005, yang memberikan otonomi pengelolaan berbeda dengan instansi pemerintah pada umumnya.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 119/PUU-XXII/2024 yang sering dijadikan rujukan sejatinya menyangkut guru honorer. Putusan itu menegaskan pentingnya kepastian status bagi guru honorer yang dibayar per jam. Kondisi tersebut berbeda jauh dengan dosen tetap non-ASN yang menerima gaji tetap dan telah memiliki ikatan kerja formal.
“Putusan MK justru ingin meningkatkan derajat guru honorer dengan status ASN. Bukan untuk merenggut kepastian hukum yang sudah dimiliki dosen tetap non-ASN,” ucapnya.
Aurora menyebut, status dosen tetap non-ASN sebenarnya sudah ditegaskan dalam berbagai regulasi. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan kepastian profesi dan perlindungan hukum bagi dosen.
“Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen bahkan menyebut dosen tetap non-ASN tunduk pada peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan regulasi dosen,” imbuhnya.
Sementara itu, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 jo. Putusan MK Nomor 7/PUU-XII/2014 menegaskan pekerjaan tetap tidak boleh dijadikan kontraktual. Profesi dosen, yang berorientasi pada tridharma perguruan tinggi, jelas termasuk pekerjaan tetap.
Kepmen Nomor 63 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Profesi Dosen juga semakin menegaskan nomenklatura “Dosen Tetap Non-ASN” dalam registrasi dan pemutakhiran data dosen di seluruh Indonesia.
Lebih lanjut, Aurora menilai, profesi dosen bukanlah jabatan politik yang bisa berubah sewaktu-waktu, melainkan profesi jangka panjang yang berbasis tridharma perguruan tinggi. Karena itu, upaya menjadikan status dosen tetap non-ASN sebagai kontraktual dianggap merusak kepastian hukum, menurunkan martabat profesi, dan bertentangan dengan cita-cita Presiden untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi.
“Kalau hari ini status dosen tetap non-ASN bisa diturunkan, besok bisa saja narasi kontraktual menimpa dosen ASN atau bahkan PNS. Ini berbahaya untuk dunia pendidikan kita,” tegasnya.
Senada dengan hal itu, Retna Sari, dosen pada Program Sarjana Akuntansi FEB UPN Veteran Jakarta sejak 2015, menekankan perlunya kejelasan status para pengajar tersebut.
“Kami meminta kejelasan tentang status kami, karena informasi yang kami terima selama ini simpang siur. Dari pertemuan sebelumnya disampaikan bahwa karena ada aturan tidak boleh ada Non-ASN, maka kami disarankan untuk ikut ujian PPPK yang belum jelas kapan diadakan; atau disarankan menjadi pegawai paruh waktu, yang informasinya tidak terbuka,” ujar Retna.
“Yang miris adalah ketika disampaikan bahwa kemungkinan remun, hak-hak keuangan tidak bisa dibayarkan karena akan jadi temuan. Bahkan penerapan bahwa non-ASN tidak boleh struktural sudah langsung diberlakukan sampai berdampak pada kepesertaan sertifikasi dosen bagi yang belum mendapatkannya,” sambungnya.
Ia menegaskan, dosen tetap non-ASN bukanlah pegawai kontrak biasa.
“Kami bukan pegawai kontrak, tapi pegawai tetap dengan SK Rektor, bahkan terakhir kami mendapat SK sebagai Dosen Tetap BLU. Kami sudah mengabdi di UPNVJ ini bertahun-tahun, seperti saya ini mulai dari tahun 2015. Bagaimana mungkin tiba-tiba kami dipinggirkan begitu saja. Rasanya tidak adil dan tidak manusiawi,” jelas Retna.
Retna juga meminta institusi kampus bertanggung jawab atas kepastian hukum bagi para dosennya.
“Untuk itu kami mohon tanggung jawab institusi. Status kami bukan pegawai kontrak. Isu tentang non-ASN di UPNVJ bukan aturan baru, semenjak penegrian sudah muncul. Dan semua dapat diselesaikan dengan baik. Jika memang jadi temuan BPK, ijinkan kami untuk beraudiensi ke BPK,” tegasnya.
Para dosen tetap non-ASN meminta dukungan moral sekaligus politik dari pimpinan PTN BLU, khususnya Rektor UPN Veteran Jakarta, agar turut mengawal isu ini. Mereka berharap kampus dapat memfasilitasi audiensi langsung dengan Kementerian Pendidikan Tinggi guna mencari kejelasan hukum dan kepastian status.
“Apa yang terjadi di UPN Veteran Jakarta hari ini akan menjadi preseden bagi seluruh PTN di Indonesia. Karena itu, kami sangat berharap rektor bisa berdiri bersama kami,” tandasnya.*