Jumat, 26 September 2025
Menu

DPR Sebut Sekolah Unggul Garuda Bukan Saingan Sekolah Internasional

Redaksi
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan MY Esti Wijayanti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 23/9/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan MY Esti Wijayanti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 23/9/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan MY Esti Wijayanti menegaskan bahwa pembentukan Sekolah Unggul Garuda yang digagas pemerintah tidak dimaksudkan sebagai pesaing negatif bagi sekolah internasional di Indonesia.

Menurutnya, program ini justru dihadirkan untuk memberikan layanan pendidikan bertaraf internasional bagi peserta didik yang diproyeksikan mampu melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah unggulan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

“Sekolah Unggul Garuda ini memang diprediksikan untuk mereka yang ke depannya bisa masuk ke sekolah-sekolah unggulan, termasuk ke luar negeri. Tentu dengan sistem pendidikan yang berbeda, mulai dari disiplin, materi pelajaran, hingga bahasa pengantar yang digunakan,” katanya kepada Forum Keadilan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 23/9/2025.

Meski keberadaannya dianggap menimbulkan kompetisi, Esti menekankan bahwa hal itu harus dilihat sebagai dorongan positif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Saingan itu dalam arti positif, sebagai upaya masing-masing sekolah untuk memberikan kualitas pendidikan yang baik dan menghasilkan anak didik yang unggul. Jadi lebih tepatnya, ini adalah saingan dalam rangka pemenuhan sekolah bermutu tingkat internasional yang mampu mencetak anak-anak berkualitas global,” jelasnya.

Esti juga menilai, pengembangan Sekolah Unggul Garuda sejauh ini telah melalui kajian yang matang. Namun, ia mengingatkan pentingnya proses penyaringan peserta didik agar tidak menimbulkan kesan eksklusif.

“Hanya saja, yang perlu diperhatikan bagaimana cara menyaring anak-anak agar yang diterima tidak menjadi golongan khusus atau merasa lebih istimewa. Kesempatan harus tetap terbuka untuk semua anak dengan standar kemampuan masing-masing. Penyaringan sebaiknya berbasis pada kemampuan akademik, bukan karena faktor jangkauan atau jumlah biaya,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari