Jumat, 07 November 2025
Menu

Pakar Sebut Perampasan Aset Tanpa Putusan Pidana Harus Ada Batasan Jelas

Redaksi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) sekaligus Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Pujiyono Suwadi dalam diskusi Iwakum di Jakarta, Jumat, 19/9/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) sekaligus Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Pujiyono Suwadi dalam diskusi Iwakum di Jakarta, Jumat, 19/9/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Pujiyono Suwadi mengingatkan agar pembahasan RUU Perampasan Aset dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Ia menilai, tanpa adanya pembatasan yang jelas, aturan tersebut berpotensi disalahgunakan.

Sebagai Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Pujiyono menjelaskan bahwa draf RUU versi April 2023 memuat mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture yang memungkinkan perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana.

Menurutnya, meski model ini dianggap lebih efektif, di sisi lain juga berisiko membuka peluang kriminalisasi bila tidak disertai kontrol ketat.

“Kalau tidak ada batasan, aset orang bisa langsung disita hanya berdasarkan dugaan. Padahal tujuan kita mengembalikan kerugian negara, bukan menakut-nakuti masyarakat,” ujar Pujiyono dalam diskusi publik Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta Selatan, Jumat, 19/9/2025.

Ia menambahkan, negara memang berkepentingan mengejar aset hasil korupsi yang selama ini sulit dijangkau. Namun, partisipasi masyarakat harus tetap dijamin agar regulasi tidak memunculkan persoalan baru, sebagaimana pernah terjadi pada kasus ‘cek kosong’ di era Orde Lama.

Selain itu, ia juga mewanti-wanti pemerintah dan DPR agar menjamin proses check and balances dalam RUU Perampasan Aset.

“Nah, proses ini ketika kemudian terjadi, proses integrited criminal justice sistem yang menjamin adanya proses koreksi, ada menjamin ada proses check and balance dalam undang-undang perampasan aset kita ke depan,” tuturnya.

“Meskipun ada kekhawatiran, tetapi setidaknya proses ini jalan. Terus, enggak mungkin kita bisa mendapatkan 100 persen sempurna, enggak mungkin, tapi harapan publik tentang bahwa pejabat-pejabat publik kita yang tau-tau jadi kaya (bisa diusut),” lanjut dia.

Pujiyono juga menyebut bahwa RUU Perampasan Aset bukan hanya ditujukan kepada pejabat publik, melainkan kepada pihak swasta yang telah melakukan kongkalikong bersama pejabat.

“Misalnya, nah kayak gitu sih kemudian, ya bukan hanya pejabat publik. Kalau pejabat publik, ya sebenarnya berlaku terukur lah, artinya peningkatan kekayaanya biasanya karena Pasal 5 sampai Pasal 12 itu gratifikasi, kebanyakan karena gratifikasi, tapi kalau kemudian pejabat publik berkongsi dengan swasta, pasti yang dapat manfaatnya kan jauh lebih banyak swastanya,” ungkapnya.

“Nah swastanya inilah yang sebenarnya harus kita kejar dalam konsep asset forfeiture ini, pengembalian kelebihan negaranya ini yang harus kemudian dikejar, yaitu kongkalikong antara pejabat publik dan swasta ini,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi