Sarankan Revisi UU TNI dalam 2 Tahun, 4 Hakim MK Soroti Minimnya Partisipasi Publik

FORUM KEADILAN – Empat Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion (DO) menyarankan agar pemerintah dan DPR melakukan perbaikan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dalam dua tahun karena menilai tidak adanya partisipasi publik. Adapun lima Hakim MK lain menyatakan menolak uji formil tersebut.
Hal itu dituliskan oleh empat hakim yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani saat memberikan pendapat berbeda dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, yakni YLBH, KontraS, dll.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai bahwa dalam pemeriksaan uji formil UU TNI ditemukan fakta bahwa pembahasan RUU TNI yang berlangsung antara tanggal 11 Maret 2025 hingga 20 Maret 2025 dalam agenda Pembicaraan Tingkat I, keterlibatan masyarakat umum dalam proses tersebut minim.
Selain itu, kata dia, pemerintah dalam keterangannya juga menegaskan perihal minimnya keterlibatan masyarakat. Rapat dan sidang yang diselenggarakan untuk membahas rancangan undang-undang tersebut memang dinyatakan terbuka untuk umum dan juga disiarkan dalam kanal resmi melalui media sosial.
“Namun tidak terdapat bukti yang meyakinkan mengenai keterbukaan untuk mengakses dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan UU 3/2025 dalam tahapan tersebut, antara lain seperti Naskah Akademik, draf Rancangan Undang-Undang maupun DIM,” katanya di ruang sidang MK, Rabu, 17/9/2025.
Ia pun mengatakan bahwa hal tersebut baru diukur dari sisi pemenuhan asas keterbukaan bagi publik, bukan dari segi prinsip partisipasi bermakna.
“Perwujudan partisipasi bermakna tiada lain dimaksudkan agar asas kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip bernegara dilandaskan pada keterlibatan masyarakat secara nyata dalam proses berdemokrasi tidak hanya berhenti dalam penyelenggaraan pemilihan umum tetapi juga berlangsung dalam proses pembentukan undang-undang,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut penting dipertimbangkan agar keberlakuan dari UU TNI memperoleh legitimasi sehingga menjadi aturan hukum yang berdaya guna dan berhasil guna.
Apalagi, kata dia, sebagai salah satu undang-undang yang lahir dari ‘roh’ reformasi, ruang keterlibatan publik menjadi keniscayaan.
Oleh karenanya, Wakil Ketua MK itu berkesimpulan bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan uji formil UU TNI secara bersyarat yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil karena dinilai telah cacat prosedural. Selain itu, pembentuk UU juga disarankan untuk memberikan kesempatan bagi publik untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan itu.
“Untuk itu, dipersyaratkan dalam waktu diberikan waktu paling lama 2 tahun bagi pembentuk undang-undang memperbaiki proses yang cacat formil dimaksud. Dengan diberikan waktu untuk memperbaiki dimaksud, permohonan para Pemohon harus dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian,” katanya.
Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo juga menilai bahwa proses pembentukan UU TNI tidak sejalan prinsip-prinsip dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan pengejawantahan mandat dari Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945.
“Salah satu asas yang tidak dipenuhi yaitu asas keterbukaan yang dimaksudkan agar masyarakat memperoleh akses terhadap informasi serta memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang,” katanya.
Menurutnya, apabila terdapat minimal satu tahapan atau tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa tak adanya partisipasi publik yang bermakna menyebabkan proses pembentukan UU TNI cacat formil. Meski begitu, ia menilai undang-undang tersebut tidak bisa serta-merta dibatalkan melainkan memerlukan perbaikan terhadap UU tersebut.
“Saya berpendapat permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan perkara ini diucapkan dengan dipenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna dalam tahap perbaikan pembentukan undang-undang a quo,” katanya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga menilai bahwa tidak adanya ruang yang memadai untuk melakukan partisipasi publik dalam masa Pembahasan Tingkat I dari tanggal 13 Maret s/d 19 Maret 2025.
“Serta tidak mudahnya draft RUU TNI untuk diakses menyebabkan tidak adanya jaminan pemenuhan hak masyarakat,” katanya.
Karena belum adanya prosedur yang terpenuhi dalam pembentukan UU TNI, Enny menilai bahwa perlu ada perbaikan prosedur dalam jangka waktu dua tahun untuk menaati tata cara pembentukan UU TNI.
Senada dengan ketiga hakim yang memiliki pendapat berbeda, Arsul Sani juga meminta agar pembahasan RUU TNI dilakukan dalam dua tahun untuk dilakukan perbaikan demi memenuhi partisipasi publik bermakna. Apalagi, dirinya menemukan fakta bahwa adanya dua tautan website DPR terkait proses legislasi RUU TNI yang masing-masing memiliki konten berbeda.
“Dari fakta 2 (dua) laman ini, saya berkesimpulan bahwa DPR sebenarnya tidak bermaksud menutup sama sekali akses informasi terkait proses legislasi RUU Perubahan UU 34/2004, namun dalil adanya pembatasan akses informasi proses legislasi tersebut menjadi tidak terelakkan karena terdapatnya laman yang berbeda yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat untuk menjadi saran akses yang lebih luas terkait dengan proses legislasi RUU Perubahan UU 34/2004,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut perlu menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang, khususnya DPR, agar pengelolaan laman yang memuat informasi proses legislasi suatu undang-undang dilakukan secara jelas dan sedapat mungkin disampaikan kepada publik untuk memastikan kemudahan akses bagi masyarakat guna mengekspresikan partisipasi mereka secara bermakna.
Sebagai informasi, hari ini MK akan membacakan putusan lima perkara yang menguji formil konstitusionalitas UU TNI. Kelima perkara tersebut kandas di MK. Adapun salah satu perkara tersebut diajukan oleh koalisi masyarakat sipil.
Adapun para Pemohon tersebut ialah Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 terdiri atas Muhammad Bagir Shadr (Pemohon I), Muhammad Fawwaz Farhan Farabi (Pemohon II), Thariq Qudsi Al Fahd (Pemohon III). Adapun para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 yaitu Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV). Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 dan Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil selaku Pemohon V.
Pada intinya, kelima perkara uji formil TNI tersebut meminta agar Mahkamah menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bertentangan dengan ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi