Mengenang Arif Budimanta

Hardy R Hermawan
Peneliti SigmaPhi Indonesia/Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
Sebuah nama yang kerap memberi makna dalam banyak analisis ekonomi, dalam rapat-rapat strategis, dalam perdebatan kebijakan, tiba-tiba tiada. Dr. Arif Budimanta . AB. Chief AB. Usianya 57—angka yang terlalu muda untuk seorang pemikir yang masih mencerna segala soal tentang bangsa. Dia berpulang di puncak malam, Sabtu dini hari, 6 September 2025, pukul 00.06 wib.
Duka ini bukan sekadar duka bagi sebuah keluarga. Meskipun untuk istri dan ketiga putranya, mungkin langit seperti runtuh. Lara mereka amat menyayat. Tapi, ini juga duka untuk sebuah negeri yang masih sangat membutuhkan orang-orang seperti dia: ekonom handal yang tak terjebak di menara gading, politisi PDI Perjuangan yang tak kehilangan nurani kerakyatan, pemimpin yang hangat yang tak pernah menukar ketulusan dengan kekuasaan. Ratusan karangan bunga dari pelbagai kalangan berdatangan ke rumah tuanya yang biasa saja, tapi teduh, di Rawamangun, Jakarta.
Sepertinya, Arif Budimanta mendapatkan sumber dari semua energi intelektual dan dedikasinya itu dari keimanannya. Dia seorang yang saleh dan taat beribadah. Ketaatannya ibarat kerangka moral yang mengawal seluruh tindakan dan pikirannya. Dia Ketua Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Dewan Pakar ICMI. Zaman mahasiswanya dihiasi aktivitas di HMI. Di tempat-tempat itu, dia seperti menemukan ruang selaras antara keyakinan agama dan panggilan profesionalnya.
Baginya, ekonomi bukan sekadar ilmu tentang uang dan pasar. Itu adalah bagian dari amal saleh, sebuah instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial, inti dari pesan profetik Islam. Sehari sebelum wafat, dia masih berjalan kaki di pasar, dari kios ke kios, dengan penuh gelisah: harga beras terus naik.
Dari pemikiran dan kegelisahan inilah lahir Al Maun Institute, tanki gagasan yang namanya diambil dari Surah Al-Maun, yang mencela mereka yang abai pada nasib anak yatim dan orang miskin. Lembaga ini adalah manifestasi jiwanya yang menggabungkan ketajaman analisis dengan semangat pemberdayaan rakyat kecil yang paling terpinggirkan. Bagi Chief AB, mengupas kebijakan ekonomi dan mendorong usaha mikro dan ultramikro adalah bentuk ibadah yang paling nyata.
Frase “ekonom pro-rakyat” sering dilemparkan begitu saja kepadanya. Sebagian melafalkannya dengan agak geli atau sinis. Tapi itu memang seperti kompas yang telah disucikan oleh keyakinannya. Dari Kantor Staf Khusus Presiden RI bidang Ekonomi, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), hingga menjadi Komisaris di Bank Mandiri dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, kompas itu yang selalu menuntunnya.
Bagi seorang yang berlatar belakang pendidikan gemilang dari IPB dan UI, punya sertifikasi dari Harvard, kecerdasannya bukanlah alat untuk memamerkan kompleksitas. Chief AB menjadikan itu seperti pisau bedah untuk mengiris ketidakadilan, mencari celah-celah kesejahteraan sosial yang bisa diperlebar—dan menjadi sebuah bentuk jihad intelektual.
Ketika memilih terjun ke gelanggang politik, sebagai Anggota DPR, AB bukanlah wujuduhu ka’adamihi. Dia memberi arti besar di sana. Baginya, politik adalah dakwah bil-hal—dakwah melalui tindakan nyata. Ia adalah politisi yang dedikasinya dibangun di atas pijakan data yang solid dan empati yang pekat, yang bersumber dari khazanah keislamannya yang mendalam.
AB merengkuh patriotisme melalui lensa kekaguman pada Bung Karno—sebuah kombinasi yang membuatnya tak hanya memegang teguh nilai keislaman, tetapi juga menginternalisasi api perjuangan Soekarno tentang kemandirian bangsa. Setiap kebijakan ekonomi yang diperjuangkannya selalu diwarnai ghirah yang mengakar pada kepentingan wong cilik dan kedaulatan nasional. Dia Direktur Eksekutif Megawati Institute yang kerap bersuara tentang kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Di balik itu semua, ada seorang Arif Budimanta yang manusiawi. Seorang bos yang tidak menjadikan ruang kerjanya sebagai singgasana, melainkan sebagai ruang diskusi yang setara, seorang ayah yang baik, dan suami yang setia. Dia acap mengomel, sesekali marah atau pundung, tapi tetap menjadi senior yang tidak segan menurunkan ilmunya, bukan untuk menegaskan superioritas, melainkan untuk mengangkat orang lain—sebuah sikap tawadhu.
Tapi dia juga pengikut yang baik dari kepemimpinan yang solid, biasa membantu sepenuh hati, teman yang bisa diajak berdebat keras tentang teori dan kebijakan ekonomi, tentang situasi politik, tepat tidaknya sebuah kebijakan, dan tertawa lepas saat membicarakan hal-hal lain di saat lain.
Arif Budimanta adalah aktor utama di balik terbitnya Perpres Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Ketajaman analisis dan keteguhan persuasinya berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo tentang urgensi itu. Sebuah dedikasi yang membuatnya dianugerahi Bintang Jasa Pratama sebagai penghargaan atas kontribusi besarnya melawan ketimpangan sosial di Indonesia.
57 tahun, usia ketika banyak orang berada di puncak kematangan berpikir dan spiritual, ketika pengalaman panjang bertemu energi yang masih cukup untuk mewujudkannya. Terlalu cepat untuk pergi. Negeri ini masih membutuhkan gagasannya yang tajam namun selalu nyambung dengan realitas akar rumput. Memang terlalu cepat, chief.
Makanya, kepergiannya seperti meninggalkan ruang kosong yang sulit terisi. Bukan hanya di keluarga, di persyarikatan, atau di SigmaPhi Indonesia yang juga ia dorong kelahiran dan aktivitasnya, pun dalam khazanah pemikiran ekonomi-keislaman Indonesia yang inklusif dan membumi. Dia pergi tepat ketika kita membutuhkan lebih banyak orang seperti dia— yang tidak hanya pandai membaca peta, tetapi juga tidak pernah lupa pada tujuan akhir: kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Selamat jalan, Chief AB. Terima kasih untuk setiap gagasan, setiap diskusi, setiap dedikasi, kepercayaan, dan ketulusan. Pekerjaan rumah bangsa ini masih sangat banyak dan kami akan selalu terkenang padamu dengan rindu yang dalam.*
Too soon, Chief. But no worries, just follow the light.