Minggu, 07 September 2025
Menu

Tikus Berdasi: Simbol Satire yang Menggema di Demo Jakarta

Redaksi
Ilustrasi Simbol Tikus Berdasi | Rahmat Fadjar Ghiffari/ Forum Keadilan
Ilustrasi Simbol Tikus Berdasi | Rahmat Fadjar Ghiffari/ Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Gelombang demonstrasi yang berlangsung di Jakarta pada 25–31 Agustus 2025 menyisakan banyak sorotan. Bukan hanya soal tuntutan pemangkasan tunjangan pejabat hingga desakan pengesahan RUU Perampasan Aset, tetapi juga munculnya simbol unik yang viral di jalanan: tikus berdasi.

Bagi sebagian orang, boneka, spanduk, dan kostum tikus berdasi terlihat menggelitik. Namun di balik satir itu, tersimpan kritik mendalam terhadap isu korupsi dan gaya hidup elitis pejabat di tengah kondisi rakyat yang kian sulit.

Kemunculan Simbol “Tikus Berdasi” dalam Demo

Dalam beberapa aksi di Jakarta, massa buruh menampilkan replika maupun kostum tikus yang mengenakan dasi sebagai representasi pejabat korup dan kecaman terhadap negara yang dinilai gagal memberantas korupsi, serta kurang bersungguh-sungguh dalam merumuskan undang-undang yang berpihak pada rakyat.

Aksi di Surabaya, misalnya, juga diramaikan oleh demonstran yang mengenakan kostum tikus berdasi lengkap dengan properti yang menyimbolkan “beban rakyat”, serta diiringi parade keranda putih bertuliskan sindiran terhadap nurani pejabat yang mati.

Di depan Gedung DPR/MPR, sebuah spanduk besar menampilkan ilustrasi tikus berdasi, disertai tuntutan konkret seperti pengesahan RUU Perampasan Aset dan pemotongan anggaran DPR/pejabat sebesar 20–30 persen.

Simbol ini kemudian kembali hadir dalam aksi lanjutan pada 4 September 2025, ketika KASBI menghadirkan kembali replika tikus berdasi sebagai kritik bahwa pemerintah gagal dalam upaya pemberantasan korupsi dan bersikap lemah dalam merespons tuntutan pro-rakyat.

Makna Simbolik di Balik “Tikus Berdasi”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tikus adalah hewan pengerat yang umumnya dipandang sebagai simbol negatif—pencuri, licik, atau pengganggu. Sementara itu, dasi dalam simbolisme populer sering merujuk pada figur pejabat, birokrat, atau orang yang berkuasa. Ketika digabung, “tikus berdasi” secara metaforis menggambarkan pejabat yang korup, licik, dan menyalahgunakan kepercayaan rakyat.

Simbol ini bukanlah hal baru dalam kultur Indonesia. Lirik terkenal karya Iwan Fals, “Tikus-tikus Kantor”, dengan metafora serupa, diartikan sebagai kritik terhadap pejabat yang ingkar janji, menyembunyikan kesalahannya, dan berlaku rakus—sementara institusi penegak hukum digambarkan sebagai “kucing” yang kadang pura-pura buta mata atas korupsi

Dengan demikian, simbol tikus berdasi dalam demo bukan sekadar visual provokatif, melainkan manifestasi kekecewaan dan tuntutan terhadap sistem yang dianggap rapuh dan penuh ketidakadilan.

Inti Pesan dan Relevansi Simbol

Simbol ini menyuarakan beberapa pesan kuat:

1. Sindiran tajam terhadap korupsi dan kebijakan elitis, ditampilkan secara teatrikal namun mengena.

2. Mencerminkan kemarahan rakyat terhadap praktik pemerintahan yang tidak transparan, terutama dalam konteks tunjangan, pajak, dan RUU pro-rakyat.

3. Kesadaran politik yang tumbuh, terlihat dari penggunaan simbol kreatif dalam demo buruh dan kampanye — menandai pergeseran dari demonstrasi normatif ke ekspresi yang lebih berpikir.

4. Tekanan moral untuk pemerintah dan DPR agar terbuka, responsif, dan pro-rakyat—bukan semata simbolis, tetapi didukung dengan aksi nyata seperti pemangkasan anggaran dan legislasi pro-rakyat.

Dalam konteks demo akhir Agustus hingga awal September 2025, simbol “tikus berdasi” menjadi wajah kritik yang tak bisa diabaikan. Ia menyampaikan pesan: korupsi dan ketidakadilan bukanlah isu simpang lalu, melainkan panggilan bagi elite pemerintahan untuk berhenti berdiam diri. Rakyat menyuarakan dengan cara yang kreatif—dan simbol satir ini menjadi media komunikasi yang jitu.*

Laporan oleh: Michelle Angella