Kamis, 04 September 2025
Menu

Mengupas Lifestyle Policing dan Masalah Korupsi di Filipina

Redaksi
Ilustrasi Kantong Belanja | Ist
Ilustrasi Kantong Belanja | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILANLifestyle policing atau pengawasan gaya hidup adalah pendekatan untuk memantau perilaku konsumsi pejabat publik. Intinya sederhana: apakah gaya hidup mereka selaras dengan penghasilan resmi?

Jika seorang pejabat dengan gaji tetap tiba-tiba tampil dengan mobil mewah, jam tangan langka, atau liburan glamor ke luar negeri, wajar bila publik curiga. Lifestyle policing hadir sebagai alat deteksi dini, bukan hanya untuk mencari kesalahan, tapi juga memastikan integritas pejabat negara tetap terjaga.

Ketika Gaya Hidup Jadi Cermin Integritas

Masalah gaya hidup mewah pejabat bukan hal baru. Pakar komunikasi, Turnomo Rahardjo, pernah menegaskan bahwa ketika seseorang terbiasa dengan kemewahan, sulit baginya untuk kembali sederhana. Inilah titik rawan: demi menjaga citra dan kenyamanan, sebagian pejabat tergoda mencari “jalan pintas” lewat praktik korupsi.

Media sosial memperkuat persoalan ini. Alih-alih transparan, unggahan pamer kekayaan justru memperlebar jurang ketidakpercayaan publik. Di sinilah lifestyle policing menemukan relevansinya—sebagai pengingat bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan panggung glamor.

Filipina: Negara dengan Bayangan Korupsi dan Gaya Hidup Elit

1. Skor Korupsi yang Mengkhawatirkan

Menurut Transparency International 2024, Filipina hanya meraih skor 33 dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI), jauh di bawah rata-rata Asia Pasifik (44). Posisi ini menempatkan Filipina di peringkat 114 dari 180 negara—indikasi serius bahwa masalah korupsi masih mengakar.

2. Budaya Politik Padrino

Sistem politik di Filipina sering dikritik karena “padrino system”, yaitu budaya nepotisme dan kronisme yang mengutamakan koneksi keluarga atau jaringan dekat dibanding meritokrasi. Situasi ini membuat pejabat lebih loyal pada patron politik ketimbang pada publik.

3. Warisan Marcos yang Masih Melekat

Kisah Imelda Marcos dengan ribuan koleksi sepatunya menjadi simbol korupsi klasik Filipina. Kekuasaan rezim Marcos (1965–1986) menciptakan budaya gaya hidup mewah di atas penderitaan rakyat. Bahkan setelah rezim tumbang, kasus korupsi keluarga Marcos masih membayangi politik Filipina.

4. Skandal Terkini: Sara Duterte

Pada 2025, Wakil Presiden Sara Duterte menghadapi proses pemakzulan karena dugaan penyalahgunaan dana rahasia senilai ₱612,5 juta. Tuduhan ini memperkuat persepsi bahwa gaya hidup pejabat di Filipina kerap tak sejalan dengan transparansi keuangan mereka.

Mengapa Lifestyle Policing Penting?

Ada beberapa alasan mengapa lifestyle policing menjadi semakin relevan dalam konteks politik dan tata kelola negara:

  • Sebagai Deteksi Dini Korupsi
    Gaya hidup yang tidak sejalan dengan penghasilan resmi bisa menjadi sinyal awal adanya penyalahgunaan kekuasaan atau aliran dana gelap.
  • Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas
    Dengan adanya pengawasan gaya hidup, pejabat negara terdorong untuk melaporkan kekayaannya secara lebih terbuka, sehingga publik bisa menilai konsistensinya.
  • Menekan Budaya Impunitas
    Pesan utamanya jelas: jabatan publik tidak memberi kebebasan untuk hidup tanpa pengawasan. Semakin ketat kontrol publik, semakin kecil ruang bagi perilaku koruptif.
  • Meningkatkan Kepercayaan Publik
    Ketika gaya hidup pejabat selaras dengan pendapatan resminya, masyarakat akan lebih percaya bahwa kekuasaan dijalankan dengan etika dan integritas.

Gaya hidup mewah pejabat Filipina di tengah keterbatasan rakyat memperlihatkan ironi: uang negara yang bersumber dari pajak justru dipamerkan tanpa rasa kepekaan sosial.

Bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, praktik lifestyle policing bisa jadi langkah strategis. Selain untuk menumbuhkan kepercayaan, juga untuk membangun budaya politik yang lebih bersih dan akuntabel.

Korupsi bukan hanya soal angka atau skandal hukum. Kadang, tanda-tandanya justru terlihat jelas dari cara seorang pejabat hidup. Filipina memberi contoh nyata bagaimana gaya hidup bisa menjadi jendela untuk melihat bobroknya integritas pejabat.

Melalui lifestyle policing, publik tidak hanya menuntut transparansi, tapi juga menegaskan bahwa jabatan publik adalah mandat untuk melayani, bukan kesempatan untuk bersolek dengan kemewahan.*

Laporan oleh: Michelle Angella