Ketika Rakyat Kehilangan Sabar, Kekuasaan Kehilangan Legitimasi

Muhammad Reza Al Habsyi
Wartawan Forum Keadilan
FORUM KEADILAN – Kita dikagetkan oleh gelombang massa yang luar biasa. Aksi yang mula-mula lahir dari tuntutan di DPR pada 25–28 Agustus, perlahan melebar dan membesar. Gerakan sosial yang semula berupa unjuk rasa damai berubah wajah menjadi lebih agresif, menyasar rumah sejumlah anggota DPR, menteri, hingga fasilitas umum yang dijarah oleh warga. Dari sekadar kemarahan publik, kini menjelma menjadi amuk massa yang melampaui batas-batas rasionalitas.
Puncaknya, momentum tragis terjadi: seorang pengemudi ojek online tewas akibat brutalitas polisi. Sejak saat itu, institusi kepolisian dan parlemen, baik DPR maupun DPRD, tiba-tiba menemukan dirinya menjadi common enemy rakyat, berubah dari lembaga resmi negara menjadi simbol penindasan yang harus ditolak bersama.
Gejolak ini tidak berhenti di Ibu Kota saja. Ia menjalar ke Makassar, Bandung, Surabaya, hingga kota-kota lain di Indonesia. Seolah ada notifikasi tak kasatmata yang diterima bersama, rakyat dari berbagai daerah berdiri dalam satu gelombang solidaritas.
Sekat-sekat teritorial yang biasanya membatasi runtuh begitu saja, digantikan oleh rasa senasib yang menjalar cepat, bak api yang membesar dan sulit dikendalikan.
Menjarah dengan alasan apa pun tentu tidak dapat dibenarkan. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa peristiwa ini adalah akumulasi kekecewaan rakyat yang telah lama menumpuk, menyerupai gelegar ombak yang akhirnya pecah.
Menjarah adalah ekspresi paling kasar dari keputusasaan. Ia adalah tanda bahwa struktur sosial sudah kehilangan legitimasi. Dalam bahasa sederhana: jika rakyat sudah merasa tidak punya apa-apa lagi yang bisa dijaga, maka hukum pun kehilangan daya magisnya.
Inilah pelajaran paling getir bagi pejabat atau tokoh publik mana pun yang gemar mempertontonkan harta dan gaya hidup. Sebab di hadapan orang lapar, kata-kata bisa berubah menjadi luka, dan pamer bisa menjelma bara.
Dunia maya yang penuh “flexing” hanya mempercepat jurang sosial: satu pihak tertawa di restoran mewah, sementara pihak lain bahkan kesulitan membeli beras. Ketimpangan itu, ketika dipertontonkan tanpa malu, menjadi bensin yang menyulut ledakan sosial.
Sejarah berkali-kali memberi peringatan yang sama: kekuasaan yang abai terhadap derita rakyat akan runtuh bukan karena lawan politiknya, melainkan karena tangan orang-orang kecil yang lapar, tersisih, dan tercekik.
Mussolini, Nicolae dan Elena Ceaușescu, adalah contoh nyata bagaimana benteng kekuasaan bisa runtuh hanya dalam hitungan jam ketika massa yang terdesak kehilangan kesabaran.
Psikologi massa bekerja dengan mekanisme sederhana namun mematikan. Ketidakadilan yang dibiarkan, gaya hidup elitis yang dipertontonkan, dan rasa lapar yang menggerogoti, perlahan menyatu menjadi bara kolektif. Dan ketika bara itu menyala, ia menjelma api besar yang tak lagi bisa dipadamkan oleh retorika kosong, jargon “harga mati” maupun slogan-slogan purba lainnya.
Émile Durkheim telah mengingatkan dalam The Division of Labour in Society: “Ketidakadilan yang dibiarkan tanpa solusi akan menciptakan keadaan anomik; dan dalam keadaan anomik, masyarakat bisa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.”
Kita melihat betul gejala itu kini: masyarakat seakan keluar dari rel keteraturan, terjebak dalam keadaan anomik, di mana hukum dan norma tidak lagi diakui sebagai penuntun, melainkan justru dianggap sebagai belenggu yang harus dirobohkan.
Dan pada titik inilah pemikiran Karl Marx kembali terasa relevan. Ia menulis dalam The Communist Manifesto (1848): “Rakyat tidak bisa hidup selamanya dengan perut lapar sementara elit hidup berlimpah. Pada titik tertentu, kontradiksi itu akan meledak dalam bentuk perjuangan kelas.” Kontradiksi itu kini menganga lebar di hadapan kita.
Amuk massa yang terjadi hari ini bukanlah sekadar letupan spontan, melainkan gejala mendalam dari kontradiksi sosial yang lama dipelihara. Jika para penguasa terus menutup telinga, mereka sesungguhnya sedang menabur bara yang kelak membakar dirinya sendiri. Sejarah memberi peringatan, teori-teori sosial memberi penjelasan, dan realitas di jalanan hari ini memperlihatkan buktinya.
Tinggal satu pertanyaan besar: apakah para pemegang kuasa mau belajar dari tanda-tanda ini, atau tetap berjalan dalam keangkuhan hingga sejarah menjatuhkan vonisnya?*