Jumat, 29 Agustus 2025
Menu

MK Tegaskan Wamen Tak Boleh Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Diberi Tenggat 2 Tahun untuk Mundur

Redaksi
Para Menteri Kabinet Merah Putih Berfoto Bersama Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin, 21/10/2024 | Instagram @sekretariat.kabinet
Para Menteri Kabinet Merah Putih Berfoto Bersama Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin, 21/10/2024 | Instagram @sekretariat.kabinet
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa wakil menteri (wamen) dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mahkamah memberikan waktu dua tahun untuk pemerintah agar melakukan penggantian jabatan pada posisi yang dirangkap oleh wamen.

Adapun saat ini praktik rangkap jabatan wakil menteri menjadi komisaris pada perusahaan milik negara masih terjadi, di mana terdapat 30 wakil menteri merangkap sebagai komisaris pada perusahaan milik negara.

Hal itu tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam putusan ini, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dan menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa baik menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Selain itu, menteri dan wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan pada posisi komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. Selain itu, pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD).

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan wakil menteri telah tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mengatur secara tegas bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

Ia menegaskan bahwa pertimbangan hukum dalam putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah yang secara konstitusional dan bersifat final.

“Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,” kata Enny dalam ruang sidang, Kamis, 28/8/2025.

Termasuk dalam hal ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan ‘permohonan para Pemohon tidak dapat diterima’, namun dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah yang merupakan ratio decidendi telah memuat judicial order.

Selain itu, dalam Putusan 80/2019 juga sudah ditegaskan bahwa kedudukan wamen sebagai pejabat negara sama dengan jabatan menteri. Apalagi, MK berpandangan bahwa wamen harus fokus pada beban kerja di kementerian.

“Dasar pertimbangan itu pulalah yang menjadi alasan kebutuhan pengangkatan wakil menteri pada kementerian tertentu, sehingga dengan sendirinya jabatan wakil menteri tidak diperbolehkan rangkap jabatan,” kata Enny.

Kendati demikian, keberadaan menteri dan wakil menteri yang sama-sama berstatus sebagai pejabat negara tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan dualisme kepemimpinan di kementerian.

Sehingga, fasilitas wakil menteri harus dipenuhi secara proporsional sesuai dengan jabatannya. Untuk itu, Mahkamah menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri sebagai komisaris atau direksi BUMN agar mereka dapat fokus pada penanganan urusan kementerian.  Apalagi, jabatan komisaris juga memerlukan konsentrasi waktu.

“Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.

Untuk itu, agar tidak terjadi kekosongan hukum ataupun ketidakpastian dalam implementasi norma yang baru, Mahkamah memberikan tenggang waktu (grace period) bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap larangan rangkap jabatan wakil menteri tersebut. Mahkamah memberikan waktu penyesuaian paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.

“Dengan demikian, tersedia waktu yang cukup dan memadai bagi pemerintah untuk melakukan penggantian jabatan yang dirangkap tersebut oleh orang yang memiliki keahlian dan profesionalitas dalam mengelola perusahaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Enny.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi