Rabu, 27 Agustus 2025
Menu

Kepala BPS di Depan DPR Bantah Merekayasa Data Kemiskinan-Pertumbuhan

Redaksi
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amelia Adininggar Widyasanti saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR RI, pada Selasa, 26/8/2025. | YouTube TVR Parlemen
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amelia Adininggar Widyasanti saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR RI, pada Selasa, 26/8/2025. | YouTube TVR Parlemen
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amelia Adininggar Widyasanti membantah tudingan bahwa lembaga yang dipimpinnya telah merekayasa data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 kemarin.

Amelia pun memberikan klarifikasi mengenai polemik di media sosial terkait data penurunan jumlah warga miskin di Indonesia.

Diketahui, saat ini banyak warganet melayangkan tudingan kepada BPS yang diduga sengaja memoles data jumlah warga miskin agar citra kinerja pemerintah dapat selalu positif. Terutama, standar yang dipakai BPS jauh berbeda dengan Bank Dunia.

“Kalau ada di dalam perbincangan netizen bahwa kita menurunkan garis kemiskinan itu sebenarnya tidak benar,” ucap Amalia saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR RI, pada Selasa, 26/8/2025.

Menurutnya, saat bicara angka statistik, masih banyak masyarakat yang masih awam dan hal tersebut lalu menimbulkan prasangka bahwa data yang disajikan BPS dianggap tidak akurat.

“Jadi memang literasi statistik sangat dibutuhkan. Masyarakat kadang-kadang ingin ikut berbicara tentang data, tetapi kadang-kadang cara membaca data dan menerjemahkan datanya masih belum pas,” jelasnya.

Kemudian, ia menyebut data angka kemiskinan yang dirilis BPS berpedoman pada survei langsung, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang terakhir kali dilaksanakan pada Maret dan September.

Selain data lengkap mengenai angka kemiskinan, Susenas juga menyajikan data lengkap mengenai rasio seperti kemiskinan ekstrem, indeks manusia, hingga angka melek huruf.

Dalam kasus data angka kemiskinan yang turun, BPS selalu mengacu kepada standar pakem, yaitu garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran makanan dan belanja non-makanan.

Angka pengeluaran, lanjutnya, untuk menentukan garis kemiskinan juga selalu diperbaharui atau naik dari tahun ke tahun seiring dengan inflasi.

Seperti per Maret 2025, garis kemiskinan nasional ditetapkan BPS sebesar Rp609.160 per kapita per tahun atau Rp20.305. Garis kemiskinan ini mengalami peningkatan sebesar 2,34 persen dibandingkan September 2024.

Angka per kapita tersebut tercerminkan batas minimum pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

“Dan perlu kami sampaikan bahwa garis kemiskinan dari tahun ke tahun itu pasti mengalami peningkatan,” sambungnya.

Penduduk dikategorikan miskin jika total pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan yang ditentukan BPS.

Angka garis kemiskinan per kapita itu lalu ramai dibahas di media sosial. Dirinya menyebut, banyak publik yang salah menafsirkan angka-angka yang disajikan lembaganya.

“Nah, garis kemiskinan yang Rp609.160 itu harus diterjemahkan ke dalam garis kemiskinan rumah tangga, karena pendapatan dan pengeluaran rumah tangga itulah yang menentukan tingkat kesejahteraan dari rumah tangga itu,” jelasnya.

“Sehingga tingkat pengeluaran rumah tangga untuk bisa keluar dari garis kemiskinan adalah di atas Rp2,87 juta per rumah tangga per bulan. Jadi membaca garis kemiskinan yang tepat adalah per rumah tangga,” pungkasnya.*