Selasa, 14 Oktober 2025
Menu

Pengamat: Pembebasan Bersyarat Setya Novanto Sah, Tapi Bisa Jadi Preseden Buruk

Redaksi
Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto atau Setnov terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP | Ist
Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto atau Setnov terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pengamat sekaligus praktisi hukum Beriandi Pancar menilai, pembebasan bersyarat yang diterima mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) memang sah secara hukum. Namun, ia mengingatkan bahwa langkah itu berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurut Beriandi, pemberian pembebasan bersyarat (PB) kepada Setnov telah berlandaskan aturan yang berlaku, yakni UU Pemasyarakatan No. 12/1995 dan Permenkumham No. 3/2018.

“Secara normatif, setiap narapidana, bahkan koruptor sekalipun, tidak boleh dihilangkan haknya untuk memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat bila syarat objektif dan administratif terpenuhi. Itu menunjukkan prinsip equality before the law tetap dijunjung,” kata Beriandi kepada Forum Keadilan, Senin,18/8/2025.

Namun, ia menilai, pendekatan hukum yang terlalu formalistik justru tidak sensitif terhadap karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime.

“Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga melukai kepercayaan publik. Karena itu seharusnya ada regulasi khusus yang membedakan perlakuan terhadap koruptor besar dibanding pelaku kriminal umum. Jika tidak ada diferensiasi, hukum memang tampak netral, tapi bisa kehilangan legitimasi di mata masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Beriandi juga menyoroti upaya hukum luar biasa yang ditempuh Setnov lewat peninjauan kembali (PK). Menurutnya, langkah itu sah sesuai Pasal 263 KUHAP.

“PK adalah hak konstitusional, dan Mahkamah Agung mengabulkan sebagian dengan mengurangi hukuman. Dari sisi hukum murni, itu tidak salah dan merupakan mekanisme check and balance,” jelasnya.

Kendati demikian, ia menekankan bahwa pengurangan hukuman bagi koruptor menimbulkan pertanyaan serius.

“Apakah PK benar-benar dipakai untuk mencari kebenaran hukum baru, atau sekadar celah untuk mendiskon hukuman koruptor? Di sini masalahnya. Putusan MA bisa dipandang sebagai preseden buruk yang memperkuat kesan hukum lebih ramah pada elite koruptor dibanding keadilan publik,” pungkas Beriandi.*

Laporan oleh: Muhammad Reza