Mengenal Fenomena Quiet Cracking di Dunia Kerja

FORUM KEADILAN – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja penuh dengan istilah-istilah baru yang lahir dari pengalaman kolektif pekerja modern. Setelah “quiet quitting” sempat viral pada 2022, kini muncul istilah “quiet cracking” yang sedang ramai dibicarakan di media sosial dan pemberitaan internasional.
Fenomena ini menggambarkan realitas yang dialami banyak karyawan: bertahan di pekerjaan meski batin perlahan “retak” karena tekanan, ketidakpuasan, dan kelelahan mental.
“Quiet cracking” merujuk pada kondisi ketika seorang pekerja merasa tidak lagi bahagia, tidak termotivasi, bahkan mulai rapuh secara emosional, namun tetap bertahan di pekerjaan karena berbagai alasan.
Tidak seperti “quiet quitting” yang lebih berupa sikap disengaja untuk bekerja sebatas minimum, “quiet cracking” justru lebih dalam: pekerja merasa terjebak. Mereka ingin pergi, tapi tidak berani karena faktor ekonomi, rasa takut akan ketidakpastian, atau minimnya peluang kerja baru.
Fenomena ini digambarkan sebagai “keretakan batin yang diam-diam” yang seolah karyawan hadir dan bekerja, tapi motivasi serta energi sudah perlahan terkikis.
Penyebab Munculnya Fenomena Quiet Cracking
Ada beberapa faktor utama yang membuat tren ini begitu relevan di kalangan pekerja saat ini:
1.Ketidakpastian Ekonomi
Situasi global yang tidak stabil, ancaman resesi, hingga sulitnya mencari pekerjaan baru membuat banyak orang memilih bertahan meski tidak lagi nyaman.
2. Kebutuhan Finansial
Tidak semua orang punya “luxury” untuk resign begitu saja. Kewajiban membayar cicilan, biaya hidup, hingga kebutuhan keluarga membuat banyak karyawan tetap bertahan meskipun merasa tidak bahagia.
3. Kelelahan Mental
Tekanan kerja yang tinggi, kurangnya apresiasi, dan budaya kerja yang toxic bisa menyebabkan stres berkepanjangan hingga burnout.
4. Rasa Takut Terhadap Perubahan
Banyak pekerja merasa keluar dari pekerjaan saat ini justru lebih menakutkan daripada bertahan, meski kondisi yang dihadapi sudah jauh dari kata ideal.
Ciri-Ciri Pekerja yang Mengalami Quiet Cracking
Fenomena ini sering tidak disadari, baik oleh karyawan itu sendiri maupun oleh perusahaan. Beberapa tanda yang bisa dikenali antara lain:
1. Semangat kerja yang menurun drastis.
2. Kehilangan minat untuk berkembang atau mencoba hal baru.
3. Produktivitas yang tidak stabil, meski tetap hadir di kantor.
4. Perasaan terjebak atau stagnan dalam karier.
5. Sering merasa lelah secara fisik dan emosional.
Perbedaan Quiet Cracking dengan Quiet Quitting
Meskipun sekilas mirip, keduanya memiliki perbedaan mendasar yakni, quiet quitting adalah pekerja sengaja melakukan minimum karena ingin menjaga keseimbangan hidup, tanpa merasa terlalu terbebani.
Sedangkan, quiet cracking adalah pekerja sebenarnya ingin berhenti, tetapi memilih bertahan meski kondisi mental dan emosional terus memburuk. Dengan kata lain, quiet quitting adalah bentuk perlawanan pasif, sementara quiet cracking lebih menyerupai bentuk “bertahan dalam keterpaksaan”.
Dampak Quiet Cracking Bagi Pekerja dan Perusahaan
Fenomena ini tidak boleh disepelekan karena membawa dampak serius, bagi pekerja: meningkatkan risiko burnout, gangguan kesehatan mental, dan terhambatnya perkembangan karier.
bagi perusahaan menurunnya produktivitas, rendahnya keterlibatan karyawan, hingga meningkatnya potensi turnover mendadak.
Bagaimana Mengatasi Quiet Cracking?
Untuk Pekerja
– Kenali tanda-tandanya lebih awal agar bisa segera mencari solusi.
– Bicara dengan atasan atau HR mengenai beban kerja dan kebutuhan pribadi.
– Rawat kesehatan mental dengan istirahat cukup, olahraga, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional.
– Pertimbangkan rencana jangka panjang, misalnya menabung atau menyiapkan transisi karier sebelum benar-benar pindah.
Untuk Perusahaan
– Bangun budaya kerja yang suportif, di mana karyawan merasa dihargai dan didengar.
– Berikan ruang fleksibilitas, seperti opsi kerja hybrid atau cuti tambahan.
– Adakan evaluasi kesejahteraan karyawan secara berkala untuk mendeteksi gejala lebih awal.
– Fokus pada keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi agar karyawan tetap termotivasi.
“Quiet cracking” adalah fenomena yang menggambarkan kondisi batin karyawan yang retak diam-diam yang hadir secara fisik, tetapi kosong secara emosional. Tren ini mencerminkan realitas dunia kerja modern yang penuh tekanan, ketidakpastian ekonomi, dan rasa terjebak.
Bagi pekerja, penting untuk menyadari tanda-tandanya sejak dini dan menjaga kesehatan mental. Sementara bagi perusahaan, fenomena ini adalah sinyal untuk lebih peduli pada kesejahteraan karyawan, bukan hanya produktivitas semata.
Jika quiet quitting adalah batas minimum, maka quiet cracking adalah alarm yang sebaiknya tidak diabaikan.*
Laporan oleh: Michelle Angella