Kamis, 14 Agustus 2025
Menu

MK Tegaskan Pilkada Masuk Rezim Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah Dilaksanakan Secara Langsung

Redaksi
Ilustrasi Pemilu | Ist
Ilustrasi Pemilu | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa tidak ada lagi perbedaan antara rezim pemilihan umum (pemilu) dengan rezim pemilihan kepala daerah (pilkada).

Dengan begitu, pelaksanaan pemilu dan pilkada harus sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945.

Maka, MK menegaskan bahwa pelaksanaan pilkada tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat dan harus dipatuhi oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.

Adapun penegasan tersebut tertuang dalam pertimbangan perkara Nomor 110/PUU-XXII/2025 yang diajukan oleh Aktivis Hukum Terence Cameron (Pemohon I) bersama Geszi Muhammad Nesta (Pemohon II) dan Adnisa Prettya (Pemohon III).

Permohonan tersebut terkait ketiadaan ketentuan pasangan calon (paslon) kepala daerah terpilih harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dalam Pasal 107 ayat 1 dan Pasal 109 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam perkara ini, MK menolak permohonan tersebut, namun mempertegas kembali rezim pilkada masuk ke dalam rezim pemilu.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut telah secara tegas, melalui berbagai putusan sebelumnya, menyamakan kedudukan antara rezim pemilu dan rezim pilkada. Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022, dan beberapa lainnya.

“Dengan tidak adanya perbedaan rezim dimaksud, secara konstitusional, Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 harus diberlakukan sama dalam penyelenggaraan pemilu anggota legislatif, pemilu presiden/wakil presiden, dan pilkada,” kata Hakim Arsul Sani dalam ruang sidang, Kamis, 14/8/2025.

Adapun Pasal 22E UUD NRI mengatur ketentuan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Dengan begitu, Mahkamah semakin menegaskan bahwa pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota harus secara demokratis berasaskan luber jurdil.

Mahkamah mengatakan bahwa, Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang memuat ketentuan kepala daerah dipilih secara demokratis harus dipahami sesuai konstruksi pemilu sebagaimana diatur Pasal 22E UUD 1945, termasuk tunduk pada asas-asas pemilu seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Arsul menambahkan, sejak 2004, pilkada di seluruh Indonesia dilaksanakan secara langsung dengan pola simetris atau pengaturan yang sama di semua daerah.

Meski demikian, konstitusi tetap membuka peluang adanya pilkada asimetris di daerah yang memiliki kekhususan atau keistimewaan, seperti Aceh, Jakarta, Yogyakarta, dan Papua. Hal itu menyangkut pemenuhan syarat untuk menjadi kepala daerah maupun proses pengisian kepala daerah.

“Bahwa berkenaan dengan penegasan tersebut di atas, sebelumnya, sejak tahun 2004, pilkada diselenggarakan dengan model pemilihan secara langsung oleh rakyat yang diatur oleh undang-undang dengan pola simetris,” katanya.

Dalam perkara ini, MK menolak permohonan tersebut, namun mempertegas kembali rezim pilkada masuk ke dalam rezim pemilu.

“Sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan sebelumnya, pelaksanaan pilkada tetap konstitusional sepanjang memenuhi asas-asas pemilu dalam Pasal 22E ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Keterpenuhan asas-asas dimaksud sekaligus menjadi penilaian demokratis tidaknya penyelenggaraan pilkada,” katanya.

Wacana Pilkada Tidak Langsung

Wacana pelaksanaan pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sempat mengemuka. Ide ini digulirkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, dan juga Presiden Prabowo Subianto.

Cak Imin menyampaikan usulan tersebut saat peringatan Hari Lahir PKB di Jakarta International Convention Center, Jakarta, pada 23 Juli. Ia menilai, kepala daerah sebaiknya tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui DPRD. Alasannya, pilkada langsung memerlukan biaya besar dan menimbulkan beban politik pasca pemilihan.

“Kami ingin demokrasi kita lebih murah,” ujar Muhaimin saat ditemui di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 30/7.

Bahlil Lahadalia pun mengklaim Golkar sudah lebih dulu mendorong gagasan serupa. Ia mengingatkan bahwa pada HUT Golkar 12 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto bahkan sempat menyampaikan wacana pilkada melalui DPRD demi efisiensi anggaran.

Saat perayaan HUT Golkar Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya mewacanakan pilkada lewat DPRD dengan alasan biaya pilkada langsung sangat mahal.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, ya, sudah DPRD itu milih gubernur dan bupati. Efisien, enggak keluar duit kayak kita,” kata Prabowo.

Dorongan untuk menghidupkan kembali pilkada lewat DPRD kian menguat setelah putusan MK pada Juni lalu yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden, anggota DPR, dan anggota DPD. Adapun pemilu daerah mencakup pilkada dan pemilihan anggota DPRD.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi