Selasa, 05 Agustus 2025
Menu

Pakar Hukum Dorong Revisi UU usai Tom Lembong-Hasto Terima Abolisi dan Amnesti

Redaksi
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kiri) dan Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kanan) | Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kiri) dan Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kanan) | Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILANPakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menilai bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto merupakan hak prerogatif presiden.

Meski begitu, ia mendorong agar pembentuk undang-undang melakukan pembaharuan regulasi agar keputusan serupa di masa depan memiliki landasan hukum yang lebih jelas dan tak menimbulkan keraguan publik.

“Kewenangan ini juga prerogatif presiden. Makanya Undang-Undang (UU) Amnesti dan Abolisi harus diperbaharui agar lebih memberikan kepastian hukum dengan syarat-syaratnya,” kata Akbar saat dihubungi Forum Keadilan, Jumat, 1/8/2025.

Adapun aturan pemberian amnesti dan abolisi dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 14 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa presiden memberikan amnesti dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, UU Darurat No. 11 Tahun 1954 juga mengatur tentang amnesti. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.

Sementara itu, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa pemberian amnesti menghapuskan hukum pidana kepada seseorang. Sementara pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap seseorang ditiadakan.

Akbar menjelaskan bahwa abolisi bisa diberikan ketika perkara belum inkracht. Sebaliknya, amnesti menghapus pidana, sehingga lebih relevan diberikan setelah seseorang divonis bersalah dan putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

“Harusnya abolisi kalau belum inkracht karena penuntutan yang dihapus. Sehingga perkara bisa di-stop sebelum inkracht. Sedangkan amnesti menghapus pidana,” ujar dia.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perbedaan tata kelola grasi dan rehabilitasi yang harus melalui Mahkamah Agung (MA) dengan amnesti dan abolisi yang harus mendapat persetujuan DPR, mencerminkan latar belakang politik dalam pembentukannya.

Menurutnya, ketentuan ini lahir dari amandemen UUD 1945, di mana grasi dan rehabilitasi dianggap wilayah hukum, sedangkan amnesti dan abolisi dinilai sebagai wilayah politik.

Saat ditanyai apakah pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto berdampak ke lembaga penegak hukum, ia menilai bahwa hal tersebut akan memberikan keraguan.

“KPK dan Kejagung tetap dapat bekerja seperti biasa. Namun memang pasti timbul keraguan ke depan,” katanya.

Sebagai informasi, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidan Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Tom Lembong dengan pidana penjara selama empat tahun enam bulan. Sementara Hasto dihukum selama tiga tahun enam bulan penjara.

Keduanya saat ini tengah mendapatkan abolisi dan amnesi dari Presiden Prabowo Subianto yang telah disetujui oleh DPR.

Keduanya akan resmi menghirup udara bebas usai KPK dan Kejagung mendapatkan surat resmi atas pemberian abolisi dan amnesti tersebut.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi