Panggung Keagamaan Jadi Ajang Adu Wacana dan Pengaruh, Pengamat: Bentrok PWI LS–FPI Bukan Sekadar soal Ceramah

FORUM KEADILAN – Bentrokan yang terjadi antara dua organisasi massa Islam, yakni Front Persatuan Islam (FPI) dan Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS), saat sebuah acara ceramah digelar Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Pemalang, Rabu, 22/7/2025 malam sekitar pukul 22.30 WIB, tidak bisa hanya dilihat sebagai konflik spontan antar kelompok.
Pengamat sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Bakhrul Khair Amal menilai, peristiwa ini mencerminkan perebutan panggung sosial keagamaan di ruang publik.
“Ceramah keagamaan bukan sekadar kegiatan religius. Ia adalah panggung wacana, tempat ormas berlomba menampilkan klaim kebenaran, moralitas, dan arah umat. Ketika ada lebih dari satu aktor yang merasa memiliki otoritas di sana, gesekan menjadi sangat mungkin terjadi,” kata Bakhrul kepada Forum Keadilan, Kamis, 31/7/2025.
Menurutnya, bentrokan antara FPI dan PWI-LS bukanlah kasus pertama yang menunjukkan bagaimana simbol-simbol keagamaan dimobilisasi untuk mempertahankan pengaruh kelompok.
Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, setiap ormas keagamaan tidak hanya berbicara atas nama iman, tetapi juga atas nama identitas sosial dan legitimasi kekuasaan simbolik.
“Panggung ceramah bukan ruang netral. Siapa yang mengisi, siapa yang mengundang, siapa yang hadir semuanya sarat makna sosial dan politik. Ini bukan cuma soal siapa yang bicara, tapi siapa yang menguasai arena pengaruh,” ujarnya.
Bakhrul menyebut, pendekatan sosiologi melihat konflik semacam ini sebagai bentuk pertarungan narasi antar kelompok yang masing-masing merasa memiliki peran historis maupun moral dalam membela umat. Tanpa ada lembaga yang mampu mengatur ruang temu antar kelompok ini secara adil, potensi gesekan hanya tinggal menunggu momentum.
“Struktur sosial yang kurang mendukung komunikasi lintas kelompok berisiko memperkuat stereotip dan memperuncing konflik,” katanya.
Lebih jauh, Bakhrul juga menyoroti bagaimana publik kerap keliru memahami konflik seperti ini hanya sebagai ulah massa yang tidak terkontrol. Padahal, konflik sosial memiliki struktur, dinamika, dan simbol yang kompleks.
“Ketika ormas merasa tidak mendapatkan akses yang setara dalam mendefinisikan ‘kebenaran agama’ di ruang publik, maka konflik bisa menjadi sarana untuk menegaskan eksistensinya. Ini bukan tindakan liar, tapi strategi sosial dalam situasi sosial yang timpang,” tegasnya.
Dalam kasus FPI dan PWI-LS, ia melihat ada upaya masing-masing pihak untuk mempertahankan narasi keagamaan tertentu, yang kemudian bentrok dengan narasi tandingan. Situasi ini semakin rumit ketika bahasa, simbol, atau ekspresi masing-masing dianggap provokatif oleh pihak lain.
“Dalam konflik sosial, makna simbolik sangat penting karena ia membentuk persepsi, memicu emosi, dan menentukan tindakan selanjutnya,” pungkasnya.
Sebelumnya, lima orang terluka terkena sabetan benda tajam saat bentrok antar-ormas di tengah-tengah ceramah Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq.
Bentrokan terjadi melibatkan dua ormas, yaitu Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah atau PWI‑LS dan Front Persatuan Islam (FPI).
Insiden ini terjadi dalam acara peringatan bulan Muharam di Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Pemalang, Rabu, 22/7 malam sekitar pukul 22.30 WIB.
Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengatakan, pihaknya akan menyokong upaya penyelidikan Polres Pemalang terkait bentrokan PWI-LS dan FPI di Desa Pegundan.
“Polres menyelidiki, di-backup Polda, kita akan melakukan penyelidikan dan menindaklanjuti peristiwa tersebut, peristiwa ini rangkaiannya seperti apa,” ungkapnya.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah