Minggu, 03 Agustus 2025
Menu

MK Diminta Kecualikan Jurnalis Sampai Pegiat Seni dari Larangan Pengungkapan Data Pribadi dalam UU PDP

Redaksi
Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Direktur LBH Pers Mustafa, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis, 31/7/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Direktur LBH Pers Mustafa, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis, 31/7/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Koalisi Masyarakat Sipil meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengecualikan jurnalis, akademisi dan pegiat seni dari larangan untuk mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Adapun koalisi masyarakat sipil tersebut terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SafeNET, dan dua warga negara Indonesia yakni Profesor Masduki selaku akademisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Amry Al Mursalaat selaku pegiat seni. Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 65 ayat 2 juncto Pasal 67 terkait sanksi pidana terhadap setiap orang yang dengan sengaja mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.

Kuasa Hukum koalisi sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa menilai bahwa ketentuan pasal tersebut berpotensi melanggar hak konstitusional dari warga negara, termasuk jurnalis, akademisi, pegiat seni hingga pegiat sastra.

“Yang dimohonkan sebenarnya adalah tafsir atau perubahan norma agar tidak kemudian pasal tersebut dijadikan alat untuk membatasi ekspresi dan kemerdekaan pers itu sendiri,” kata Mustafa kepada wartawan di Gedung MK, Kamis, 31/7/2025.

Ia menambahkan bahwa pasal yang mengatur soal pemrosesan data pribadi tersebut terlalu lentur (karet) dan berpotensi menjerat pihak-pihak yang bergerak di bidang jurnalistik, kesenian, hingga akademik.

“Jadi mungkin hari ini tidak jadi masalah tapi ketika misalnya orang atau pemilik data itu marah dengan saya, dia bisa langsung lapor menggunakan itu. Nah ini sangat karet,” katanya

Mustafa mencontohkan, dalam konteks kerja jurnalistik, pengungkapan identitas pejabat publik dalam laporan kritik atau dugaan korupsi dapat berujung pada pelaporan hanya karena tidak ada izin dari yang bersangkutan.

Hal serupa, kata dia, juga bisa menimpa para seniman yang membuat kritik melalui karya seperti karikatur, atau para akademisi yang menyampaikan temuan berdasarkan data pribadi.

“Sehingga kemudian dalam petitum kita meminta agar norma tersebut atau pasal tersebut inkonstitusional secara bersyarat kecuali bukan dimaknai untuk tujuan jurnalistik, kesenian, kesusasteraan, dan akademisi,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif SafeNET Nenden Sekar Arum meminta Mahkamah untuk memberikan penafsiran terhadap Pasal 65 ayat 2 dengan mengecualikan kerja-kerja yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Menurutnya, rumusan dalam pasal tersebut sangat karet dan bisa menjadi alat kriminalisasi untuk memidanakan jurnalis hingga pegiat seni.

“Jadi siapa pun yang kemudian ternyata menggunakan data pribadi seseorang untuk kepentingan investigasi jurnalistik misalnya atau untuk kerja-kerja seni dia berpotensi akhirnya dikriminalisasi atau dipidana dengan UU PDP ini,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida menilai, sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) berpotensi menjadi hambatan serius bagi kerja jurnalistik di masa depan.

Ia menyatakan, jurnalis kerap mengumpulkan, mengolah, hingga menyimpan data pribadi dalam rangka menjalankan tugasnya, terutama untuk peliputan investigatif.

Namun, kata dia, dengan ketentuan dalam UU PDP saat ini, para jurnalis justru terancam pidana karena dianggap memiliki atau memproses data pribadi tanpa izin. Menurutnya, ketentuan ini menjadi tantangan besar bagi kebebasan pers, apalagi tugas-tugas jurnalistik ternyata tidak dimasukkan sebagai bagian dari pengecualian dalam UU PDP.

“Ini ancaman bukan hanya untuk jurnalis pada dasarnya, tetapi juga ada akademisi, pekerja seni. dan kita juga harus tahu sejauh mana sih kebebasan itu berhubungan dengan masalah hukum karena yang dikerjakan jurnalis pada dasarnya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan umum dan itu menggunakan data-data pribadi,” katanya.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi