Senin, 04 Agustus 2025
Menu

Komisi IV Minta Nomenklatur Beras Tak Usah Diubah, Bikin Masyarakat Bingung

Redaksi
Ilustrasi beras. | Ist
Ilustrasi beras. | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo menyoroti persoalan perubahan nomenklatur atau penamaan jenis beras yang dinilainya terlalu sering berubah dan membingungkan masyarakat. Ia meminta pemerintah agar konsisten menggunakan istilah yang sudah dikenal luas oleh masyarakat dan pelaku usaha, seperti ‘beras premium’ dan ‘beras medium’.

“Terkait dengan masalah nomenklatur beras, itu sebaiknya jangan terlalu sering dirubah-rubah. Ini membingungkan masyarakat, apalagi kalau penjelasannya tidak jelas di lapangan,” katanya, di Ruang PPIP Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu, 31/7/2025.

Menurutnya, daripada sibuk mengutak-atik istilah, seharusnya yang menjadi perhatian utama pemerintah adalah praktik manipulasi di lapangan yang kerap dilakukan oleh sejumlah pelaku usaha. Manipulasi ini, lanjut Firman, terjadi saat beras premium dicampur atau disulap menjadi medium, dan sebaliknya.

“Persoalan sekarang bukan pada jenis berasnya. Tapi pada praktik manipulasi—premium dijadikan medium, atau medium dijadikan premium. Itu yang jadi masalah,” jelasnya.

Firman mengaku telah berdiskusi dengan para pelaku usaha pedagang beras yang mengakui adanya praktik tersebut. Ia menjelaskan, manipulasi itu dilakukan bukan tanpa alasan. Ketika stok beras premium menumpuk, sementara pasar justru membutuhkan beras medium, maka pelaku usaha melakukan pengoplosan agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Proses ini dilakukan dengan menyesuaikan kadar patahan beras sesuai aturan.

“Mereka menyesuaikan patahannya agar memenuhi kriteria beras medium atau premium. Dalam praktiknya, mereka tidak merasa melanggar karena menyesuaikan dengan ketentuan,” ujarnya.

Namun, Firman menyoroti kelemahan dalam disiplin pelabelan kemasan. Ia mengungkapkan bahwa ada pelaku usaha yang menjual beras medium dengan harga medium, tetapi tetap menggunakan kantong berlabel premium. Hal ini terjadi karena alasan efisiensi, sebab kantong beras biasanya dicetak dalam jumlah besar.

“Yang penting sebenarnya adalah kedisiplinan, jika kemasan tidak sesuai dengan isi, harus dicoret atau diberi penanda, misalnya pakai spidol. Ini jadi keluhan pelaku usaha juga,” katanya.

Firman juga mengaku akan melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah untuk menyerap langsung aspirasi dari para pelaku usaha, Bulog, serta masyarakat terkait persoalan ini. Ia berharap pemerintah dapat memberikan solusi nyata, agar tidak ada pihak yang dirugikan.

“Saya akan turun langsung, bertemu Bulog, para mitra, dan masyarakat. Kita harus cari titik terang agar pelaku usaha tidak merasa dirugikan karena isu ini. Mereka punya tanggung jawab besar terhadap pegawai, petani, dan buruh. Ini harus segera diselesaikan,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari