Jumat, 01 Agustus 2025
Menu

MK Tegaskan Pimpinan Organisasi Advokat Wajib Nonaktif Jika Merangkap Pejabat Negara

Redaksi
Sidang perkara uji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 30/7/2025 | Ist
Sidang perkara uji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 30/7/2025 | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pimpinan organisasi advokat yang diangkat sebagai pejabat negara tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Mahkamah menyebut, pimpinan yang ditunjuk sebagai pejabat negara harus non-aktif sebagai pimpinan lembaga advokat.

Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 183/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh seorang advokat bernama Andri Darmawan yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut untuk sebagian.

“Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Rabu, 30/7/2025.

Adapun Pasal tersebut memuat ketentuan soal pimpinan organisasi advokat memiliki masa jabatan selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama satu kali secara berturut-turut atau tidak. Selain itu, terdapat larangan rangkap jabatan dengan pimpinan partai politik, baik nasional maupun daerah.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arsul Sani mulanya mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022 berfokus pada larangan bagi seseorang untuk menjadi pimpinan organisasi advokat melebihi dua periode masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Setelahnya, ia menegaskan putusan MK Nomor 80/2019 yang memuat larangan bagi wakil menteri dan menteri untuk melakukan rangkap jabatan.

“Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri seperti yang diatur dalam norma Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri,” katanya dalam persidangan.

Mahkamah menyebut bahwa kedua pertimbangan hukum tersebut telah sesuai dengan Pasal 20 ayat 3 UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.

Oleh karena itu, advokat yang ditunjuk presiden menjadi menteri atau wakil menteri tidak boleh melaksanakan tugas sebagai advokat.

“Artinya, dengan status advokat tidak melaksanakan tugas sebagai advokat, dalam batas penalaran yang wajar, advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara dengan sendirinya menjadi kehilangan pijakan hukum untuk menjadi pimpinan suatu organisasi advokat,” kata Arsul.

Arsul mengatakan bahwa Mahkamah memiliki dasar yang kuat bahwa pimpinan organisasi advokat harus non-aktif ketika ditunjuk sebagai pejabat negara.

Hal ini, kata MK, untuk menghindari bentuk conflict of interest atau konflik kepentingan saat menjabat sebagai pejabat negara.

“Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (conflict of interest) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri,” lanjutnya.

Adapun dalam putusan ini tidak semua hakim memiliki satu suara yang bulat. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion (DO). Dalam pendapat berbeda, ia menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan perkara tersebut.

Sebagai informasi, Andri Darmawan selaku Pemohon meminta Mahkamah agar membatasi pimpinan organisasi advokat untuk tidak melakukan rangkap jabatan. Namun, Mahkamah hanya mengabulkan sebagian dan menyatakan bahwa pimpinan organisasi advokat harus non-aktif ketika menjabat sebagai pejabat.

Dalam permohonan, dirinya turut menyinggung Otto Hasibuan selaku Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan yang turut rangkap jabatan sebagai pimpinan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Selain itu, Pemohon juga menilai Otto telah membangkang terhadap putusan MK di mana dirinya tetap memimpin Peradi selama tiga periode. Padahal, MK membatasi pimpinan organisasi advokat untuk menjabat selama dua tahun.

Menurutnya, hal tersebut untuk menghindari konflik kepentingan agar menjamin persamaan kedudukan dan perlakuan di depan hukum.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi