Ide PKB soal Pemilu Tidak Langsung Dinilai Usang dan Bertentangan Konstitusi

FORUM KEADILAN – Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti menilai usulan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) soal gubernur dipilih langsung oleh presiden dan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD bukanlah gagasan baru. Menurutnya, PKB memang sudah sejak lama secara konsisten mengusung ide tersebut.
“Jika mereka mengungkapkannya kembali ke publik, tentu karena masa pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu sudah dekat,” kata Ray dalam keterangannya, Minggu, 27/7/2025.
Menurut Ray, gagasan Cak Imin ini sebaiknya dipilah dalam dua kategori, yaitu pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota.
Ia menuturkan, pemilihan gubernur secara langsung oleh presiden masih dapat dimungkinkan mengingat posisi gubernur kerap dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
“Gubernur dilihat sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk mengawasi, menjalankan, dan mengoordinasi program nasional di daerah. Jadi condongnya memang ke presiden,” ujarnya.
Namun, Ray mengingatkan bahwa usulan ini memiliki implikasi serius terhadap keberadaan DPRD provinsi. Jika gubernur dianggap sebagai pejabat administratif semata, maka keberadaan DPRD provinsi pun menjadi tidak relevan, bahkan bisa dihapuskan seperti halnya camat yang tidak memiliki lembaga legislatif pengawas.
“Persis seperti camat di kecamatan. Ia pemerintahan tunggal karena fungsinya administratif. Maka gubernur cukup diawasi oleh pemerintah pusat melalui Mendagri”” jelasnya.
Di sinilah letak persoalan utama yang menurutnya tidak dibahas oleh Cak Imin. Fokusnya hanya pada gubernur, namun luput dari implikasi ketatanegaraan yang lebih besar, terutama yang bersinggungan langsung dengan konstitusi.
“Pasal 19 UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPRD, termasuk provinsi, dipilih melalui pemilu. Maka, jika gubernur dipilih presiden tapi DPRD masih dipilih lewat pemilu, sistem kita jadi tidak konsisten, alias acak-acakan,” tegasnya.
Lebih jauh, Ray juga menyoroti usulan agar pemilihan bupati dan wali kota dikembalikan ke DPRD. Ia menyebut ada tiga argumen kuat yang menolak wacana tersebut. Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2024 menegaskan bahwa pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu. Artinya, kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, wacana pemilihan oleh DPRD bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, putusan MK itu juga menegaskan bahwa desain negara kesatuan Indonesia bersifat otonom. Kabupaten/kota memiliki kewenangan mengatur daerahnya, sehingga kepala daerah mesti dipilih langsung agar legitimasi dan stabilitas pemerintahan kuat.
Ketiga, alasan politik uang bukan soal sistem pemilihan langsung atau tidak, melainkan soal mentalitas politisi. Ray menyebut bahwa korupsi elektoral bisa tetap terjadi, baik melalui pemilu langsung maupun lewat DPRD.
“Ujung-ujungnya uang tetap bicara. Maka seharusnya parpol lebih ketat menyaring calon kepala daerahnya. Saring sumber dananya, rekam jejak politiknya, dan diskualifikasi jika terbukti pakai politik uang,” paparnya.
Ray juga mengkritik peran pengawas pemilu, Bawaslu, yang dinilai belum maksimal dalam memberantas politik uang.
“Sudah seharusnya Bawaslu dievaluasi. Politik uang yang marak di masyarakat adalah indikator lemahnya pengawasan pemilu,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Novia Suhari