Imunitas Jaksa Harus Dibatasi, Pakar HTN UGM Sebut Bisa Berujung pada Impunitas

FORUM KEADILAN – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, memperingatkan bahaya imunitas hukum yang berlebihan terhadap jaksa. Menurutnya, imunitas tersebut rawan disalahgunakan dan dapat berujung pada impunitas atau kekebalan hukum jika tidak dibatasi dengan baik.
Hal itu ia ungkapkan ketika dirinya dihadirkan sebagai ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Perkara Nomor 09/PUU-XXIII/2025 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
Adapun Pasal 8 ayat (5) tersebut mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Mulanya, Zainal mengatakan bahwa Jaksa dan aparat penegak hukum lainnya harus mendapatkan perlindungan karena rentan untuk dikriminalisasi saat menjalankan tugas dan wewenangnya.
Namun, di satu sisi, imunitas tersebut mengalami perubahan, yakni kerap disalahgunakan untuk melakukan pelanggaran hukum.
“Jadi dipakai sebagai alat untuk melakukan perlindungan atau dipakai alat untuk bersembunyi dibalik kesalahannya,” katanya dalam persidangan, Kamis, 24/7/2025.
Pria yang akrab disapa Uceng itu menekankan bahwa imunitas kerap kali berujung pada impunitas, atau kekebalan hukum yang cukup berbahaya dalam banyak hal.
“Betapa sering imunitas yang ditaruh ketinggian apalagi imunitas yang kemudian tidak terbatas ataupun imunitas yang tidak dikerjakan untuk dibatasi, di tengahnya itu berujung pada impunitas,” kata Zainal.
Dia lantas mengutip teori Yuliya Zabyelina dari Universitas Alabama yang berjudul “Between Immunity and Impunity” yang membagi imunitas ke dalam dua jenis, yakni immunity ratione personae dan immunity ratione materiae.
Ia menyebut, immunity ratione personae merupakan jenis perlindungan yang lebih absolut dan mengikat pada personal seseorang. Ia mencontohkan imunitas ini dikenakan pada raja atau pemimpin negara.
Sementara, immunity ratione materiae merupakan kekebalan yang bersifat fungsional. Ia menyebut bahwa imunitas terhadap jaksa lebih menekankan pada fungsi, bukan personal.
“Itu sebabnya kalau dalam fungsi, kalau kita baca buku teori ini, dia menjelaskan bahwa dia (jaksa) hanya dalam kapasitas sebagai dalam jabatannya, untuk tindakan yang dilakukan dalam kapasitas resmi jabatan, jangka waktunya ada, jenis kekebalan nya juga ada,” tambahnya.
Meski begitu, Zainal menekankan bahwa baik imunitas secara personal maupun material harus memiliki batasan dan tidak boleh dibuat tanpa batas.
“Jadi imunitas itu harus tentu penting untuk dilindungi, tapi kalau kita bicara soal imunitas secara fungsi atau imunitas secara materi sebenarnya memang dia harus berbatas. dia tidak boleh dibuat tanpa batas. Nah batas yang paling baik tentu saja adalah ditentukan undang-undang,” ujarnya.
Uceng lantas mengingatkan bahaya dari penerapan imunitas hukum yang berlebihan. Ia menilai bahwa imunitas yang tidak dibatasi dengan baik sangat berpotensi berubah menjadi impunitas, yakni kekebalan dari jeratan hukum yang justru merusak prinsip negara hukum.
“Fenomena impunitas itu seringkali berkaitan dengan masalah kekuasaan, seringkali berkaitan dengan masalah politik seringkali berkaitan dengan masalah yang lebih bersifat pengangkangan pada hukum. Disitu bahayanya
Zainal menilai penting untuk mengkaji ulang apakah dalam praktiknya ketentuan tersebut telah dimanfaatkan untuk melindungi individu tertentu dari proses hukum secara tidak semestinya.
Ia menyebutkan bahwa pasal soal imunitas jaksa dalam UU Kejaksaan perlu dinilai kembali apakah telah terjadi impunitas “demi melindungi pihak tertentu”.
Ia juga menegaskan bahwa imunitas tidak boleh dipahami sebagai bentuk perlindungan yang absolut. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan batasan yang jelas dan tegas terhadap cakupan dan penerapan imunitas agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.
“Imunitas tidak mungkin bersifat Absolut. Dalam konteks tidak bersifat Absolut, maka limitasinya ada baiknya untuk diatur secara lebih limitatif,” katanya.
Sebagai informasi, Perkara permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang mengatur soal imunitas jaksa.
Dalam permohonan mereka, mereka menyampaikan ketentuan pasal tersebut memberikan imunitas absolut kepada jaksa, sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.
Mereka juga membandingkan hak imunitas jaksa dengan imunitas advokat yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di pengadilan.
Menurut para Pemohon, konsep hak imunitas jaksa juga harus memiliki batasan serupa untuk menjaga prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan. Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi