Kamis, 24 Juli 2025
Menu

Curhat di Sidang MK, Lesti Kejora Soroti Kekaburan Norma di UU Hak Cipta

Redaksi
Penyanyi dangdut Lestiani alias Lesti Kejora di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 22/7/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Penyanyi dangdut Lestiani alias Lesti Kejora di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 22/7/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Penyanyi dangdut Lestiani alias Lesti Kejora menyoroti soal kekaburan norma dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahunn 2014 tentang Hak Cipta. Ia menyebut, para musisi rentan dikriminalisasi atas kekaburan norma tersebut.

Hal itu ia ungkapkan saat dirinya dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan sejumlah musisi tanah air ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 22/7/2025.

Mulanya, Lesti menceritakan soal pengalaman awal karirnya ketika Tahun 2016-2018 di mana ia membawakan lagu berjudul ‘Bagai Ranting yang Kering’ ciptaan Yoni Mulyono alias Yoni Dores. Adapaun lagu tersebut ia bawakan atas permintaan pihak penyelenggara sebagai bagian dari daftar lagu yang telah disepakati.

Setelahnya, kata dia, video pertunjukan tersebut diunggah oleh pihak lain ke kanal YouTube dengan thumbnail foto dirinya dan judul lagu tersebut tanpa sepengetahuan dirinya ataupun manajemen.

“Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Maret 2025, saya menerima surat somasi dari kuasa hukum pencipta lagu Bapak Yoni Dores yang menyatakan bahwa saya dianggap telah mempertunjukan karya cipta tersebut tanpa izin langsung dari penciptanya,” katanya.

Dalam surat tersebut, ia dianggap telah melanggar ketentuan pidana sebagaimana dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Pada 18 Mei 2025, ia menyebut bahwa Yoni Dores melaporkannya ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan melakukan pelanggaran hak cipta atas penggunaan lagu ciptaannya tanpa izin.

“Hal ini menimbulkan perspektif negatif terhadap diri saya, karena dengan adanya laporan tersebut, saya seakan-akan telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Hak Cipta, sekaligus menunjukkan kegamangan norma hukum terhadap pelaku pertunjukan seperti saya,” katanya.

Dalam kesaksiannya, ia mengaku rutin diundang di pelbagai acara untuk tampil sebagai penyanyi profesional. Selain itu, daftar lagu yang ia nyanyian juga disusun sebagaimana permintaan klien dan pihak penyelenggara.

Namun, ia menegaskan bahwa dari enam hingga delapan lagu yang ia bawakan merupakan karya orisinal sendiri, sedangkan setengahnya berdasarkan permintaan klien.

“Penting untuk saya tegaskan bahwa saya tidak pernah mengurus langsung perizinan atau pembayaran royalti atas lagu-lagu yang dibawakan, karena saya hanya menjalankan jasa tampil atau pertunjukan sesuai kesepakatan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, penyanyi seperti dirinya tidak memiliki akses maupun kapasitas untuk mengetahui rincian teknis terkait perhitungan royalti, seperti jumlah penonton, harga tiket, atau skala acara yang kerap menjadi dasar penarikan lisensi menurut regulasi yang berlaku.

Lesti mengaku pernah menerima somasi hingga laporan pidana dari pencipta lagu karena dianggap membawakan lagu tanpa izin. Ia menilai, hal itu sebagai bukti nyata kekaburan norma hukum dan ketimpangan posisi antara pencipta lagu dan pelaku pertunjukan.

“Somasi yang saya terima disertai laporan pidana merupakan bentuk nyata dari ketidakjelasan aturan dan ketidakseimbangan posisi hukum,” katanya.

Ia menambahkan, hingga kini statusnya masih tergantung sebagai terlapor, dan hal tersebut berdampak buruk terhadap kariernya.

Menurutnya, apabila penyanyi bisa dituduh melanggar hukum pidana hanya karena membawakan lagu populer tanpa eksploitasi ekonomi pribadi, maka praktik semacam ini menciptakan preseden buruk bagi industri hiburan nasional.

“Bahkan dalam kondisi lagu dibawakan secara sah tanpa eksploitasi pribadi, ancaman pidana tetap bisa digunakan sepihak oleh pencipta. Ini menciptakan rasa tidak aman bagi kami sebagai pelaku pertunjukan,” tegasnya.

Lesti berharap MK dapat memberikan kejelasan dan perlindungan hukum yang adil, khususnya bagi pelaku pertunjukan yang selama ini hanya menjalankan peran profesional dalam ekosistem musik Indonesia.

Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 29 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.

Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.

Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 Undang-Undang (UU) Hak Cipta.

Para pemohon menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi