Ariel NOAH Soroti Ketidakjelasan Aturan Pembayaran Royalti dalam UU Hak Cipta

FORUM KEADILAN – Vokalis grup musik NOAH Nazriel ‘Ariel’ Irham, menyoroti ketidakjelasan mekanisme pembayaran royalti dalam industri pertunjukan musik yang ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Hak Cipta.
Hal itu ia ungkapkan kepada sejumlah wartawan saat sidang uji materi Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan olehnya dan sejumlah musisi tanah air ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pria yang akrab disapa Boriel itu mempertanyakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kewajiban pembayaran royalti, apakah promotor acara atau penyanyi yang tampil di atas panggung.
“Yang jadi masalah kan adalah menggeser yang mesti membayar itu, dari promotor atau EO penyelenggara acara ke penyanyi. Di undang-undang itu yang mesti bayar itu penyelenggara, tapi sekarang malah penyanyinya yang diminta,” ujar Ariel di MK, Selasa, 22/7/2025.
Ariel juga menyoroti perubahan kebijakan terkait izin performing rights. Menurutnya, selama ini izin biasanya hanya diperlukan oleh penyelenggara acara. Namun kini, penyanyi juga diminta untuk mengurus izin saat tampil.
“Kalau performing right langsung dinyanyiin, dari dulu nggak perlu minta izin. Tiba-tiba sekarang harus,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ariel menilai bahwa sengketa royalti ini bukan semata-mata soal menang atau kalah di Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan lebih pada perlunya kepastian hukum dari negara.
Ia berharap, MK bisa menjadi ruang bagi pemerintah dan DPR untuk memberikan sikap resmi soal siapa pihak yang wajib membayar royalti dalam sebuah acara musik.
“Kita sebenarnya nggak penting gugatan kita diterima atau menang. Yang penting itu kayak sidang ketiga di MK, ada pernyataan dari pemerintah dan DPR. ‘Enggak kok, nggak bias UU ini, memang yang mesti bayar ini’ Nah, itu yang kita perluin. Karena di lapangan kita lagi ribut, butuh kejelasan,” katanya.
Meski begitu, Ariel menekankan bahwa pihaknya tidak berniat merusak undang-undang (uu) yang ada, melainkan hanya meminta sikap tegas dari pemangku negara agar konflik di level pelaku industri bisa segera diselesaikan.
“Kita ga mau merusak undang-undang. Cuma kan kita minta waktu itu tolong dong dikasih sikap dari pemerintah ini yang mana yang benar karena kita lagi berantem nih di bawah. Itu yang kita pingin,” katanya.
Dalam permohonan mereka, mereka mempersoalkan Pasal 23 ayat 5 dalam UU Hak Cipta. Adapun ketentuan tersebut mengatur bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin kepada pencipta dengan membayar imbalan atau royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Namun, frasa ‘setiap orang’ tersebut dinilai tidak jelas dan multi tafsir. Sehingga sering ditafsirkan bahwa hanya pelaku pertunjukan (musisi) yang harus meminta izin sekaligus memberikan royalti kepada pencipta lagu.
Oleh karena itu, mereka memohon agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak djmaknai kepada pelaku pertunjukan.
Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 29 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.
Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.
Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 Undang-Undang (UU) Hak Cipta.
Para pemohon menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi