MK: Wamen Dilarang Rangkap Jabatan Komisaris BUMN hingga Perusahaan Swasta

FORUM KEADILAN – Wakil menteri (wamen) dilarang rangkap jabatan, baik sebagai komisaris ataupun direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Hal ini diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan tertuang pada putusan Nomor 21/PUU-XXIII/2025.
Adapun gugatan dilayangkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy Roringkon. Tetapi, Juhaidy meninggal dunia dalam prosesnya dan membuat permohonannya tidak bisa diterima.
MK tetap mencantumkan penegasannya dalam memutus perkara itu walaupun tidak menerima gugatan Juhaidy. Penegasannya berkaitan dengan undang-undang (uu) yang melarang menteri rangkap jabatan. Menurut MK, hal tersebut juga berlaku bagi wamen.
“Berkenaan dengan isu konstitusionalitas rangkap jabatan, Mahkamah Konstitusi memberikan penilaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri,” tulis putusan MK dalam salinan yang diunggah di laman resminya, Kamis, 17/7/2025.
“Berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD,” lanjut putusan itu.
Pada putusan sebelumnya, MK pun telah menegaskan bahwa wamen dilarang rangkap jabatan sebagaimana putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019. Dengan begitu, sudah jelas bahwa wamen juga dilarang untuk rangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan pada Pasal 23 UU 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Pasal tersebut berbunyi:
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
- Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
- Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau
- Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Dalam putusannya, MK menyebut bahwa pada pelaksanannya, masih ada wamen yang merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan milik negara.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sudah jelas menyampaikan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan negara maupun swasta,” tulis putusan MK.
MK memandang, pengabaian putusan tersebut didasarkan pada alasan bahwa amar putusan perkara tersebut ‘tidak dapat diterima’ dan tidak menyertakan ketentuan soal larangan rangkap jabatan tersebut inkonstitusional. MK kemudian menegaskan, hal itu tidak ada di amar putusan, namun larangannya diterapkan secara kesatuan dalam bagian pertimbangan putusan. Maka, hal itu harus tetap dilaksanakan.
“Meskipun dalam amar putusan a quo permohonannya tidak dapat diterima, tetapi dalam membaca putusan juga sudah seharusnya membaca dan melihat ratio decidendi-nya (bagian dari putusan pengadilan yang menjadi preseden hukum bagi kasus serupa di masa depan),” tulis MK.
Kemudian, MK menyatakan bahwa tidak bisa menerima permohonan uji materiil UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon. Sebab, Juhaidy meninggal dunia pada 22 Juni lalu. Maka menurut MK, kedudukan hukum Pemohon yang sudah meninggal dunia tidak bisa dipertimbangkan lebih lanjut lantaran syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki Pemohon dalam pengujian UU di MK haruslah relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan Pemohon.
“Mengingat syarat lain yang juga dipenuhi dapat diberikan kedudukan hukum oleh Pemohon adalah apabila permohonan dikabulkan maka anggapan hak konstitusional yang dialami Pemohon tidak lagi terjadi atau tidak lagi akan terjadi. Dengan demikian, karena Pemohon telah meninggal dunia maka seluruh syarat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh Pemohon,” jelas Hakim MK Saldi Isra.*