Minggu, 20 Juli 2025
Menu

MPR dan MK Bakal Lakukan Pertemuan Bahas Putusan Pemisahan Pemilu

Redaksi
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 25/6/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 25/6/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bakal segera melakukan pertemuan dengan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka lawatan lanjutan ke beberapa lembaga negara.

Ketua MPR Ahmad Muzani mengungkapkan bahwa hal yang akan dibahas salah satunya adalah terkait putusan MK soal pemisahan pemilu lokal dan nasional pada 2029 yang kini tengah menuai perbincangan.

“MPR nanti mau silaturahmi ke MK. Kita sedang menunggu jadwal berikutnya,” ungkap Muzani setelah mengunjungi Mahkamah Agung (MA), Jumat, 11/7/2025.

Muzani mengatakan bahwa MPR saat ini masih menunggu sikap DPR soal putusan MK tersebut. Menurutnya, putusan MK sepenuhnya merupakan kewenangan DPR.

“Ya kita tunggu bagaimana DPR memberi respons dan reaksi dalam bentuk penyesuaian atas keputusan MK. Itu kewenangan sepenuhnya di DPR,” tutur dia.

DPR pun hingga kini belum memberikan pengumuman tentang sikap mereka terkait putusan MK tersebut. Bahkan, fraksi-fraksi di DPR juga masih mengkajinya.

Tetapi, ada sejumlah anggota DPR yang mengkritik putusan MK terkait pemisahan pemilu ini. Mereka memandang bahwa putusan MK tersebut berpotensi menyalahi undang-undang dasar.

Salah satunya adalah Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizami Karsayuda yang menegaskan bahwa sebagai politisi Partai NasDem, ia dan fraksinya sudah memiliki sikap tegas atas putusan tersebut.

“Saya sebagai anggota Fraksi Partai NasDem di DPR RI sudah memiliki sikap, dan menganggap kalau kami menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU/2024, maka penindaklanjutan itu adalah bagian dari pelanggaran konstitusi itu sendiri,” katanya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin,7/7.

Lebih lanjut, Rifqi mengkritisi aspek finalitas putusan MK. Ia menilai, putusan berbeda pada objek yang sama menunjukkan inkonsistensi Mahkamah, sehingga putusan menjadi tidak final dan mengganggu prinsip hukum.

“Dalam konteks teori hukum tata negara dan hukum konstitusi, sebagaimana ciri dan karakter putusan MK yang bersifat final and binding, kalau satu putusan kemudian di judicial review lagi tak ada putusan lain, itu berarti tidak final and binding. Dan itulah yang sekarang menjadi kritik kami terhadap MK. Satu objek yang sama itu bisa diputus berkali-kali dengan putusan yang berbeda,” jelasnya.

Kemudian, Rifqi mencontohkan perbedaan putusan MK Nomor 55 Tahun 2019 dengan putusan MK Nomor 135 Tahun 2024, yang sama-sama diajukan oleh pemohon yang sama, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Menurutnya, dalam putusan sebelumnya, MK hanya memberikan saran model keserentakan pemilu kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang (UU) melalui konsep open legal policy.

Ia menilai, pelaksanaan pemilu serentak 2024 sebenarnya sudah sesuai dengan saran putusan MK No. 55 Tahun 2019. Namun, tanpa adanya revisi UU Pemilu oleh DPR dan pemerintah, MK justru membuat norma baru dalam putusan terbarunya, sehingga mengambil alih kewenangan DPR dan presiden.

“Belum lagi kita revisi UU Pemilu sebagai pembentuk UU yang katanya kita diberikan kewenangan sebagai pembentuk UU dalam konteks open legal policy, tiba-tiba Mahkamah men-downgrade dirinya dari yang harusnya hanya menilai satu norma UU apakah bersifat konstitusional atau inkonstitusional, menjadi Mahkamah yang membentuk norma. Yang kemudian mengambil alih, dalam tanda kutip tugas konstitusional kami, presiden dan DPR, untuk membentuk norma,” pungkasnya.*