Sabtu, 05 Juli 2025
Menu

Ketua KPU soal Putusan Pemisahan Pemilu: MK Tak Meminta Keterangan Kami

Redaksi
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu, 12/2/2025 | Muhammad Reza/Forum Keadilan
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu, 12/2/2025 | Muhammad Reza/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaran pemilihan umum atau pemilu di tingkat nasional seperti pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah.

Mahkamah mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Tetapi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengaku bahwa MK tidak pernah meminta keterangan dari pihaknya dalam putusan tersebut.

Padahal, Afif memandang bahwa kerja-kerja KPU sebagai penyelenggara pemilu bersangkutan dengan pertimbangan dalam putusan tersebut. Kata dia, hal tersebut berbeda dengan putusan MK terkait pemilu serentak melalui amar putusan nomor 55/PUU-XVII/2019.

“Nah ini di antara yang memang tidak meminta keterangan kami sebagai penyelenggara meskipun alasannya sama dengan kesimpulan banyak pihak,” ungkap Afif dalam diskusi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 4/7/2025.

Ia menilai, putusan MK terkait pemisahan pemilu dengan nomor 135/PUU-XXII/2024 itu tidak memberikan opsi apapun kepada pemerintah, DPR, maupun penyelenggara pemilu untuk menentukan perbaikan model pemilu.

Sementara itu, MK memberikan enam opsi model penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak suara pada putusan 55.

“Kalau 55 kan suruh milih nih. Termasuk opsi yang terbuka, terserah pilihannya apa. Sekarang udah disuruh kamu harus pilih ini. 135 ini begitu,” tutur dia.

Diketahui, dalam putusannya MK menyatakan bahwa pemungutan suara pemilu nasional digelar secara serentak, lalu baru disusul dengan pemilu daerah dalam waktu paling cepat 2 atau 2,5 tahun. Pemilu daerah juga bisa dilaksanakan sejak pelantikan DPR, DPD ataupun presiden-wakil presiden.

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional,” kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Kamis, 26/6.

Sejumlah pihak pun mengkritik keputusan ini. Salah satunya Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI sekaligus Politisi Partai NasDem, Taufik Basari (Tobas) yang menilai bahwa putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah sebagai keputusan problematis yang berpotensi memicu krisis konstitusional hingga deadlock.

“Keputusan MK sejatinya harus dilaksanakan. Tetapi jika dilaksanakan, justru berpotensi melanggar konstitusi. Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan, juga melanggar konstitusi,” katanya usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 4/7.

Ia menjelaskan, keputusan MK memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, dan akan membuat pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah akan dilakukan dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden itu jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang memerintahkan pemilu dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.

“Dengan pemisahan ini, bentang waktu dua sampai dua setengah tahun membuat masa tugas anggota DPRD setelah lima tahun selesai tidak diikuti dengan pemilu sebagaimana diperintahkan konstitusi. Ini jelas pelanggaran konstitusi,” tegasnya.

Tobas menambahkan, jika keputusan MK tidak dilaksanakan, itu juga melanggar Pasal 24C yang menyebutkan putusan MK bersifat final dan mengikat.

Selain itu juga, ada persoalan terkait keanggotaan DPRD selama masa perpanjangan ini. Menurut Tobas, jika pemilu untuk DPRD ditunda, maka ada dua opsi yang sama-sama bermasalah. Pertama memperpanjang masa jabatan anggota DPRD atau kedua membiarkan DPRD kosong.

“Kalau anggota DPRD diperpanjang, maka mereka tidak memiliki legitimasi demokratis karena tidak melalui proses pemilu, padahal Pasal 18 ayat 3 menegaskan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu. Tidak ada jalur lain,” jelasnya.

Sementara jika DPRD dikosongkan selama dua tahun hingga dua setengah tahun, kata Tobas, hal itu juga melanggar Pasal 18 ayat 3 yang mewajibkan keberadaan DPRD sebagai unsur pemerintah daerah.

“Kalau hanya kepala daerah tanpa DPRD, itu juga melanggar konstitusi,” sambungnya.*