Rabu, 20 Agustus 2025
Menu

Ketika Langit Tak Lagi Aman

Redaksi
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute Marah Kerma Mardame Manurung. I Ist
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute Marah Kerma Mardame Manurung. I Ist
Bagikan:

Marah Kerma Mardame Manurung

Praktisi Asuransi | Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

 

FORUM KEADILAN – Langit yang seharusnya menjadi jalur perjalanan paling aman kembali tercoreng. Tragedi menimpa pesawat Air India 171 Boeing 787 Dreamliner yang jatuh hanya beberapa menit setelah lepas landas dari Ahmedabad menuju London. Sebanyak 242 nyawa melayang di luar korban di darat, menambah panjang daftar duka dunia penerbangan dan menyisakan pertanyaan besar soal keselamatan udara di tengah derasnya lalu lintas global. Teranyar, pesawat Boeing 787-8 British Airways (BA35) tujuan Chennai, terpaksa putar balik ke Heathrow, tak lama setelah lepas landas pada Minggu, 15 Juni 2025, akibat gangguan serius pada sistem flap udara.

Tragedi ini bukan insiden tunggal. Dalam tiga bulan pertama tahun 2025, dunia menyaksikan rangkaian kecelakaan serius, tabrakan pesawat komersial dengan helikopter Black Hawk di Amerika Serikat, jatuhnya jet medis di Philadelphia, hingga tergelincirnya pesawat Delta Airlines di Kanada. Tak hanya merenggut korban jiwa, musibah-musibah ini juga memicu gelombang klaim asuransi yang menguji ketangguhan industri asuransi dan reasuransi global.

Lonjakan Risiko, Ledakan Klaim

Data dari Allianz mengungkapkan bahwa premi global asuransi penerbangan pada 2024 mencapai US$8 miliar, angka tertinggi dalam dua dekade terakhir. Namun, lonjakan premi tak sebanding dengan ledakan klaim yang terjadi. Dalam lima tahun terakhir, klaim industri ini menembus angka €14 miliar atau sekitar Rp241 triliun, didorong oleh meningkatnya frekuensi kecelakaan, kerugian infrastruktur, dan korban jiwa.

Kecelakaan Air India 171 sendiri diperkirakan memicu klaim hingga US$130 juta (sekitar Rp2,1 triliun). Angka ini mencakup kerusakan pesawat dan kompensasi bagi penumpang maupun pihak ketiga. Jika digabungkan dengan serangkaian insiden lain di awal 2025, beban finansial yang harus ditanggung perusahaan asuransi menjadi sangat besar.

Di sisi lain, bencana alam turut memperparah situasi. Kebakaran hutan besar di Amerika Serikat tahun lalu misalnya, diperkirakan menimbulkan kerugian hingga Rp480 triliun. Kombinasi tekanan dari langit dan bumi ini menempatkan sektor asuransi pada posisi rapuh, memaksa mereka mencari strategi mitigasi baru untuk menjaga kelangsungan bisnis.

Peran Vital Reasuransi

Dalam krisis seperti ini, perusahaan reasuransi menjadi tulang punggung keuangan bagi industri asuransi primer. Hampir 90 persen risiko pada kasus Air India 171 ditanggung oleh perusahaan reasuransi di London. Jeju Air 7C2216 sebelumnya pun telah mengalihkan sebagian besar risikonya ke AXA XL. Ini menunjukkan pentingnya peran reasuransi dalam mendistribusikan beban risiko secara global.

Laporan Aviation Risk, Claims and Insurance Outlook 2024 dari Allianz menyebutkan tujuh penyebab utama klaim dalam industri penerbangan: tabrakan atau kecelakaan (33%), kesalahan produk atau pengerjaan (13%), masalah perjalanan (8%), terpeleset dan jatuh (6%), bencana alam (4%), kerusakan barang (3%), dan polusi lingkungan (2%).

Menurut Dr. Markus Schulz dari Allianz Global Corporate & Specialty, risiko penerbangan kini semakin kompleks. Selain aspek teknis, cuaca ekstrem dan kepadatan lalu lintas udara juga memperbesar potensi kerugian.

Namun, di tengah tekanan, muncul juga dorongan inovasi. Sompo Insurance, misalnya, mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan teknologi keselamatan berbasis kecerdasan buatan (AI). Lembaga internasional seperti ICAO, FAA, dan EASA pun semakin ketat dalam menetapkan standar keamanan internasional. Penggunaan sistem peringatan dini, navigasi presisi, hingga pengelolaan risiko satwa liar di sekitar bandara kini menjadi standar baru yang tak bisa ditawar.

Tantangan di Langit Indonesia

Sebagai negara kepulauan dengan ratusan rute domestik dan internasional, Indonesia tidak luput dari ancaman risiko serupa. Ketergantungan terhadap reasuransi global membuat industri asuransi nasional sangat sensitif terhadap fluktuasi premi dan eskalasi klaim.

Menurut Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (2024), kesiapan industri nasional masih harus diperkuat menghadapi risiko-risiko besar. Hal ini meliputi penguatan cadangan teknis, seleksi risiko yang lebih ketat, serta pengembangan kerja sama strategis dengan mitra reasuransi internasional. Di sisi lain, digitalisasi dan penggunaan AI dalam proses analisis risiko serta penilaian klaim menjadi langkah strategis yang tak bisa ditunda.

Dari sisi perlindungan hukum, Permenhub No. 77 Tahun 2011 masih menjadi rujukan utama. Penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat berhak atas kompensasi hingga Rp1,25 miliar. Namun, dalam konteks kecelakaan modern yang kompleks, regulasi ini dinilai perlu diperbarui. Sebagai pembanding, Tata Group sebagai pemilik Air India memberikan santunan sebesar Rs1 crore (sekitar Rp1,8 miliar) kepada keluarga korban kecelakaan Air India 171, lebih tinggi dari standar kompensasi nasional kita.

Menuju Langit yang Lebih Aman

Tragedi seperti Air India 171 adalah pengingat pahit bahwa langit belum sepenuhnya aman. Namun industri asuransi dan penerbangan tidak boleh menyerah pada ketidakpastian. Ketahanan sistem, kecepatan beradaptasi, dan inovasi menjadi keharusan.

Saat risiko menjadi bagian tak terpisahkan dari penerbangan modern, yang dibutuhkan bukan lagi hanya perlindungan, tetapi juga ketangguhan. Kini saatnya regulator, pelaku industri, dan pemangku kepentingan bersinergi untuk menciptakan sistem asuransi penerbangan yang tangguh, progresif, dan berkelanjutan. Semua ini demi satu tujuan, menjadikan langit kembali aman untuk dilintasi.*