Sidang Hasto, Ahli Bahasa: Pejabat Tinggi Cenderung Gunakan Bahasa Rumit

FORUM KEADILAN – Ahli bahasa sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Frans Asisi Datang menyebut bahwa pejabat tinggi cenderung menggunakan bahasa rumit dalam percakapan.
Hal itu ia ungkapkan ketika dirinya dihadirkan sebagai ahli oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dalam sidang kasus suap dan perintangan penyidikan pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Mulanya, Jaksa KPK menanyakan pola komunikasi dalam pesan singkat berbasis WhatsApp (WA), terutama terkait jabatan seseorang dan gaya bahasa yang digunakan.
“Pilihan kata-kata dalam komunikasi WA ini, apakah semakin tinggi level jabatan, semakin simple isi chatnya, atau bagaimana dengan pola yang pada umumnya? Tolong ahli sampaikan,” kata jaksa di persidangan, Kamis, 12/6/2025.
Menanggapi hal itu, Frans menyampaikan bahwa berdasarkan pengalamannya sebagai ahli dalam berbagai sidang, pejabat dengan jabatan tinggi justru sering menggunakan bahasa yang lebih rumit dan penuh dengan makna yang tidak langsung.
“Kalau pengalaman saya, semakin tinggi jabatan, semakin berusaha untuk menyampaikan sesuatu secara rumit,” ujarnya.
Ia mencontohkan, penggunaan bahasa politik oleh para pejabat, seperti menteri, yang sering menggunakan istilah dengan makna konotatif.
“Misalnya, ketika seorang menteri berbicara ‘akan diamankan’, itu bukan berarti secara harafiah akan dijaga atau dilindungi. Bisa jadi maknanya adalah akan diteruskan, atau bahkan akan dihentikan,” jelasnya.
Menurutnya, bahasa politik memang kerap sarat dengan makna konotatif, sehingga setiap kata atau frasa yang digunakan harus dianalisis dengan mempertimbangkan konteks politik dan sosial.
Frans menambahkan bahwa dalam ilmu linguistik, penting untuk memahami kapan suatu kata ditafsirkan secara harafiah dan kapan harus ditafsirkan berdasarkan konteks.
“Setiap penggunaan bahasa harus dipahami konteksnya. Ini termasuk dalam ilmu kami, yaitu menafsirkan kata berdasarkan konteks sosial, politik, dan sebagainya,” katanya.
Sebagai informasi, dalam kasus ini, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice dan menyuap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan Rp600 juta agar Harun Masiku bisa menjadi anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW) 2019-2024.
Dalam dakwaan pertama, ia disebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sedangkan pada dakwaan kedua, ia dijerat melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi