Pelanggaran Hak Digital di Indonesia Meningkat, SAFEnet Soroti Tekanan terhadap Kritik Publik

FORUM KEADILAN – Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyoroti kondisi hak digital di Indonesia yang memburuk selama triwulan pertama tahun 2025.
Dalam Laporan Pemantauan Hak-Hak Digital, SAFEnet mencatat lonjakan pelanggaran hak digital seiring meningkatnya aksi resistensi sipil, khususnya terkait penolakan revisi Undang-Undang (RUU) TNI.
Laporan ini dibuat berdasarkan empat isu utama hak-hak digital di Indonesia, yaitu akses internet, kebebasan berekspresi, keamanan digital, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum menegaskan bahwa pelanggaran terhadap hak digital warga negara terus terjadi, baik oleh aktor negara maupun non-negara.
“Kebebasan berekspresi, keamanan digital, dan akses internet yang adil adalah hak dasar warga di era digital. Namun laporan ini menunjukkan bahwa hak-hak tersebut terus dilanggar,” ujar Nenden dalam keterangan tertulis, Rabu, 30/4/2025.
Ia mencatat terdapat peningkatan yang signifikan dalam isu keamanan digital, yakni terdapat 137 kasus serangan dengan 60 persen di antaranya menyasar aktivis.
“Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan periode yang sama pada 2024. Kami menduga kuat bahwa motif politik, terutama penolakan RUU TNI, melatarbelakangi banyak serangan yang terjadi,” tambahnya.
Sementara pada isu akses internet, SAFEnet mencatat ada 12 kali gangguan infrastruktur internet, mayoritas kasus tersebut berada di wilayah Indonesia Timur. Salah satunya ialah Pemadaman internet selama 24 jam di Bali saat Hari Raya Nyepi.
Sedangkan pada isu kebebasan berekspresi, terdapat peningkatan angka pelanggaran kebebasan berekspresi daring dibandingkan triwulan sebelumnya. Tercatat, terdapat 34 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi daring dengan 32 orang korban.
“Mayoritas kasus kriminalisasi tersebut masih menggunakan Pasal 27A UU ITE dan menyasar warganet biasa,” kata Nenden.
Adapun mayoritas pelapor adalah pesohor (8 orang), diikuti pejabat publik (5 kasus), pengusaha (4 kasus), serta perusahaan swasta (3 kasus), dan pengacara (3 kasus).
Isu ketersinggungan personal masih mendominasi laporan dengan menggunakan pasal-pasal karet UU ITE dengan 11 kasus, diikuti dengan isu ekonomi sebanyak enam kasus. Meski demikian, isu-isu lain yang berkaitan dengan kepentingan publik juga menunjukkan angka signifikan.
Tindakan strategic litigation against public participation (SLAPP) setidaknya terjadi dalam lima kasus yang menyangkut pelaporan atas ekspresi terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, isu kesehatan dan perlindungan konsumen masing-masing tercatat empat kasus dan dua kasus.
Sementara itu, aduan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) mengalami penurunan yaitu sebanyak 422 aduan KBGO dalam triwulan pertama. Namun, SAFEnet mendokumentasikan kasus-kasus pelecehan daring berbasis gender yang menyasar para pengkritik RUU TNI. WhatsApp, Telegram, dan Instagram menjadi platform yang paling sering disebut dalam aduan.
“Lonjakan pelanggaran dalam triwulan ini menunjukkan bahwa ruang digital kita belum menjadi ruang yang bebas, aman dan inklusif, terutama bagi mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kritik terhadap kebijakan publik tidak seharusnya dibalas dengan doxing, peretasan, atau kriminalisasi. Sayangnya, itulah yang terus terjadi di ruang digital Indonesia saat ini,” ujar Nenden.
Ia menyerukan agar negara menjalankan kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak digital warga.*
Laporan Syahrul Baihaqi