Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan peluang pemeriksaan tersebut terbuka usai penyidik menggeledah dua kediaman Riza Chalid yang berada di Jakarta Selatan yaitu di Kebayoran Baru dan Panglima Polim.
“Sepanjang merupakan kebutuhan penyidikan, pihak-pihak manapun yang bisa membuat terang tindak pidana ini tentu akan dipanggil,” ujar Harli Siregar dalam konferensi pers, Jakarta, Jumat, 28/2/2025.
Walaupun demikian, Harli mengaku belum mengetahui secara pasti apakah penyidik sudah melayangkan panggilan pemeriksaan terhadap Riza Chalid atau belum. Harli hanya dapat memastikan penyidik saat ini tengah memeriksa para tersangka secara maraton.
“Ini masih tersangka, masih pada tersangka. Minggu depan ini, (pemeriksaan kepada) pejabat-pejabat teknis,” katanya.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya yaitu Riva Siahaan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Lalu, SDS sebagai Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP sebagai VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.
Kemudian, Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) sebagai Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW sebagai Komisari PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan YRJ sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Diketahui, Kerry Andrianto adalah anak dari Riza Chalid.
Tak lama, Kejagung baru menetapkan dua tersangka lain yaitu Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan Edward Corne sebagai VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.
Kejagung mengatakan total kerugian kuasa negara dalam perkara korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kemudian kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
Sementara itu, kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
PT Pertamina (Persero) mengaku pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan di Kejagung. Selain itu Pertamina meluruskan soal BBM oplosan dengan blending di tengah kabar viral Pertamax yang dijual merupakan bensin oplosan.
Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso membantah Pertamax yang merupakan BBM oplosan. Fadjar menegaskan Pertamax tetap sesuai standar, yaitu RON 92 dan memenuhi semua parameter kualitas bahan bakar yang telah ditetapkan Ditjen Migas.
Fadjar menekankan Kementerian ESDM juga terus melakukan pengawasan mutu BBM dengan cara melakukan uji sampel BBM dari berbagai SPBU secara periodik.
“Terkait isu yang beredar bahwa BBM Pertamax merupakan oplosan, itu tidak benar,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu, 26/2/2025.
Ia menjelaskan ada perbedaan signifikan antara oplosan dengan blending BBM.
“Blending dimaksud adalah proses pencampuran bahan bakar atau dengan unsur kimia lain untuk mencapai kadar oktan atau RON tertentu dan parameter kualitas lainnya,” terangnya.
Di sisi lain, Fadjar mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir terkait mutu BBM Pertamina.
“Kualitas Pertamax sudah sesuai dengan spesifikasinya, yaitu dengan standar oktan 92,” katanya.*