Minggu, 27 Juli 2025
Menu

Pengamat: Penambahan Kementerian Tambah Beban Keuangan Negara

Redaksi
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka | X @Prabowo
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama, Ari Junaedi, merespons wacana penambahan kementerian di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming mendatang.

Ari menilai bahwa pada dasarnya, penentuan jumlah kementerian merupakan hak prerogatif presiden terpilih. Namun, ia menekankan bahwa pembentukan kabinet harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

“Dengan era kemajuan zaman dan pemanfaatan teknologi digital yang mutakhir, seharusnya lebih berlandaskan kepada efisiensi dan efektivitas birokrasi, dan berpijak kepada kabinet ahli atau Zaken. Ini harus menjadi pegangan Presiden terpilih,” ujar Ari kepada Forum Keadilan, Sabtu, 14/9/2024.

Menurut Ari, penambahan jumlah kementerian tentu akan semakin menambah beban keuangan negara. Apalagi, kata Ari, program-program Prabowo ke depan juga memerlukan biaya besar.

“Sangat disesalkan, andai Prabowo memekarkan jumlah kementerian hingga 44 kementerian, tentu saja penambahan jumlah kementerian akan semakin menambah beban berat keuangan negara,” tukasnya.

“Belum lagi pembiayaan makan siang dan susu gratis sebagai janji kampanye yang harus tertuai juga perampungan pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara) yang menyedot anggaran APBN,” tambahnya.

Ari menilai, saat ini postur keuangan negara sangat berat karena menanggung kebutuhan yang semakin meningkat, belum lagi porsi utang yang semakin besar.

Terlebih lagi, kata Ari, Indonesia akan mengalami masa transisi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN di Kalimantan Timur, yang dinilainya memerlukan biaya besar.

“Logika berpikirnya sangat sederhana, menambah menteri adalah menambah lagi fasilitas untuk menteri. Belum lagi perubahan dan pembentukan kementerian baru ikut mengubah administrasi birokrasi di tengah transisi besar-besaran mobilisasi ASN dari Jakarta ke IKN,” ungkapnya.

Alih-alih menambah jumlah kementerian, Ari berpendapat bahwa dalam situasi sulit seperti sekarang, pemerintah seharusnya merampingkan jumlah kementerian, bukan menambahnya.

“Di negara-negara maju, justru merampingkan birokrasi dengan begitu fleksibel dan mini dalam pembentukan birokrasi, anomali di negara yang konon katanya maju tapi berpola negara baru berkembang, sebaiknya jumlah kementerian kalau perlu diperkecil saja,” tegasnya.

Ari juga mengusulkan adanya peleburan atau penyatuan beberapa kementerian agar kerja pemerintah lebih efisien sekaligus dapat meminimalisir kerumitan birokrasi.

“Fungsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi disatukan di Kemendagri. Demikian pula dengan Kementerian Sosial sebaiknya dilebur saja. Jika semangat perampingan birokrasi dikedepanpakan dengan optimalisasi pelayanan digital, maka kesemrawutan birokrasi bisa tertata dengan baik,” jelasnya.

Selain itu, Ari mengingatkan adanya kemungkinan kepentingan politik tertentu di balik wacana penambahan kementerian ini.

“Tetapi jika alasannya hanya untuk ruang yang luas guna mengakomodir kepentingan parpol-parpol (partai politik) pendukung, maka jangan harap keuangan negara tidak menjadi jebol,” tegasnya.*

Laporan Muhammad Reza