Kamis, 18 September 2025
Menu

Gugat Presidential Threshold, Pemohon Gambarkan Skema Pengusungan Capres

Redaksi
Sidang sesi pemberian nasihat perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di MK, Jakarta Pusat, Rabu, 7/8/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Sidang sesi pemberian nasihat perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di MK, Jakarta Pusat, Rabu, 7/8/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraini menggugat ambang batas presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang pendahuluan, mereka menggambarkan empat skema pengusungan calon presiden (capres) apabila permohonan mereka dikabulkan Mahkamah.

Awalnya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mempertanyakan bagian petitum para Pemohon yang bermaksud menghilangkan ambang batas syarat pencalonan presiden pada partai politik yang memiliki kursi di parlemen.

“Sepertinya kalau saya baca tadi ini untuk partai politik yang sudah memiliki kursi tidak lagi menggunakan pendekatan threshold,” kata Guntur saat sesi pemberian nasihat dalam Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 7/8/2024.

Merespons hal tersebut, Titi menjelaskan empat skema pengusungan calon presiden berdasarkan konfigurasi petitum yang mereka mohonkan.

“Pertama partai politik yang memiliki kursi di DPR dan lolos ambang batas parlemen, maka ia bisa mengusulkan sendiri pasangan capres-cawapres,” kata Titi.

Kedua, gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di parlemen dapat berkoalisi dalam pencalonan kandidat capres tanpa ada presidential threshold.

Selain itu, gabungan partai politik peserta pemilu terdiri dari parpol yang memiliki kursi di parlemen dan non parlemen dapat mengusungkan juga kandidat presiden tanpa harus memenuhi ambang batas presiden.

“Kata kuncinya adalah punya kursi di DPR, kalau tidak punya kursi baik partai baru atau yang tidak lolos, maka kalau dia bergabung dengan salah satu partai parlemen yang punya kursi di parlemen, maka bisa ikut mengusulkan,” lanjutnya.

Namun, apabila partai politik baru dan non parlemen ingin berkoalisi, maka gabungan partai tersebut harus mematuhi ketentuan ambang batas presiden yang ditentukan pembentuk Undang-Undang.

“Ketika opsi 20 persen itu maka 20 persen dari jumlah parpol peserta pemilu atau dengan pertimbangan open legal policy yang harus dirumuskan secara rasional dan berkeadilan itu diserahkan ke pembentuk Undang-Undang,” katanya.

Sebagai informasi, Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraini menguji konstitusionalitas norma Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal presidential threshold.

Mereka beralasan adanya alternatif pengaturan ambang batas pencalonan presiden dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, seperti mengakomodir hak parpol yang baru mengikuti pemilu untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres.

Apabila permohonan ini dikabulkan MK, maka beberapa gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di parlemen dapat mengusungkan capres dan cawapresnya sepanjang memenuhi angka 20 persen dari seluruh partai politik peserta pemilu.

Di samping itu, para Pemohon juga memberikan petitum alternatif di mana pasangan calon dapat diusung partai politik dan/atau Gabungan Partai Politik dan diusulkan oleh Gabungan Partai Politik yang tidak memiliki kursi di parlemen dengan ambang batas yang diatur oleh pembentuk Undang-Undang pada Pemilu 2029 mendatang.*

Laporan Syahrul Baihaqi