Tak Bisa Usung Calon di Pilkada, Partai Buruh dan Gelora Minta MK Percepat Putusan

FORUM KEADILAN – Partai Buruh dan Gelora meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempercepat putusan permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mereka mempermasalahkan aturan Pilkada di mana partai politik non parlemen tidak bisa mengusulkan calon kepala daerah.
“Pemohon merasa perlu untuk kembali mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim agar perkara ini dapat segera diputus karena perkara a quo sangat berbeda dengan perkara uji materiil UU Pilkada lainnya,” ucap Said Salahuddin dalam sidang perbaikan permohonan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 24/7/2024.
Said menyebut, permohonan yang diajukan mereka lebih kompleks dibandingkan dengan permohonan uji materiil UU Pilkada lain yang hanya mempersoalkan persyaratan administratif.
Menurut Said, apabila putusan MK dijatuhkan menjelang waktu pendaftaran, maka kerja sama politik atau koalisi yang dibangun dikhawatirkan akan dilakukan secara terburu-buru. Hal ini, kata dia, berpotensi menghasilkan pemimpin daerah yang tidak berkualitas dan kurang berpihak pada kepentingan masyarakat.
“Perkara yang Pemohon ajukan lebih kompleks karena terkait dengan proses komunikasi serta kerja sama politik antar partai politik yang perlu membangun kesepakatan koalisi dalam rangka pendaftaran calon ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang tentu saja membutuhkan waktu cukup panjang,” katanya.
Said juga mengkhawatirkan timbulnya persoalan teknis karena KPU akan melakukan harmonisasi Peraturan KPU (PKPU) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Untuk diketahui, berdasarkan PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, pendaftaran pasangan calon kepala daerah baru dibuka pada 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024.
Oleh karenanya, Said memohon kepada Mahkamah agar mempercepat proses persidangan tanpa perlu menggelar sidang keterangan saksi dan ahli, baik dari pemohon serta pembentuk Undang-Undang. Ia juga menilai bahwa Majelis Hakim sudah memahami persoalan yang mereka ajukan.
Ditemui usai persidangan, Said mengungkapkan bahwa syarat calon perseorangan dinilai lebih ringan dibandingkan dengan partai politik maupun gabungan partai politik.
Menurut Said, calon perseorangan hanya membutuhkan dukungan dari daftar pemilih tetap (DPT), sementara partai politik baru bisa mengusung setelah memperoleh suara di TPS.
“Bagaimana mungkin syarat yang lebih ringan kepada perseorangan lebih ringan diperbolehkan, sementara syarat yang lebih berat kepada partai politik atau gabungan parpol justru tidak diperbolehkan,” katanya.
Setelahnya, Said pun membandingkan dengan pemilihan presiden, di mana partai politik yang tidak mendapatkan kursi di parlemen masih tetap bisa menjadi pengusung calon presiden dan wakil presiden.
“Tapi di pilkada kondisinya berbeda. Parpol yang enggak mendapat kursi DPRD enggak boleh ikut mengusung paslon, padahal untuk DPR RI saja boleh. Di level daerah kok enggak boleh,” katanya.
Partai Buruh dan Gelora menguji konstitusionalitas norma Pasal 40 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang berbunyi: “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah“.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora meminta MK, menyatakan Pasal terkait tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika hasil bagi jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka dihitung dengan pembulatan ke atas“.*
Laporan Syahrul Baihaqi