MK Diminta Tetapkan Syarat Usia Calon Kepala Daerah Sejak Pencalonan

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang terkait batas usia calon kepala daerah. Permohonan tersebut diajukan oleh dua mahasiswa fakultas hukum di Indonesia, A Fahrur Rozi dan Anthony Lee. Mereka menilai bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) salah menafsirkan batas usia untuk calon kepala daerah.
Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin jalannya persidangan dengan dibantu dua anggota hakim lain, yaitu Guntur Hamzah dan Arsul Sani dengan agenda mendengarkan permohonan pemohon. Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 12/7/2024.
Permohonan yang teregister dengan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 menguji materi terhadap Pasal 7 Ayat 2 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati terkait dengan batas usia minimal calon kepala daerah.
Dalam dalil permohonannya, mereka menilai bahwa terdapat pertentangan antara substansi pada Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 setelah adanya putusan MA Nomor 23P/HUM/2024.
Pemohon menilai bahwa Pasal tersebut telah mengandung inkonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda. Menurut pemohon, apabila terdapat keraguan dalam pengimplementasian suatu Undang-Undang, maka akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktiknya.
Mereka menegaskan bahwa maksud dari Pasal tersebut memuat ketentuan usia bagi calon kepala daerah untuk calon yang akan berkontestasi, bukan untuk calon yang akan dilantik karena memenangkan pilkada.
Selain itu, Putusan MA Nomor 23/2024 telah menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positife norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukan lah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembentuk Undang-Undang.
Dalam petitumnya, mereka meminta agar MK mengembalikan tafsir syarat usia calon Kepala Daerah ke pasca putusan MA, yaitu ditetapkan sejak KPU menetapkan pasangan calon. Juga meminta MK menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
“Sepanjang tidak dimaknai, berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon,” ucap kuasa hukum pemohon Muhammad Khusairi.
Tidak Ingin Dibenturkan dengan MA
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat sesi pemberian nasihat meminta kepada pemohon untuk menambahkan doktrin dan teori yang merebut bahwa putusan pengadilan memberikan ketidakpastian hukum.
Guntur mempertanyakan bagaimana putusan pengadilan bisa dituduh menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia lantas meminta agar pemohon menyertakan argumentasi dan teori yang relevan dan kuat terkait argumen tersebut.
Apabila hal tersebut terjadi, maka putusan pengadilan di mana pun, termasuk putusan MK bisa dituduh menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ia juga menyayangkan permohonan pemohon yang seolah menempatkan MK sebagai peradilan banding atas putusan MA.
“Seakan-akan saudara menempatkan MK sebagai peradilan banding atas putusan MA, ini harus dijawab karena sudah ada putusan MA, Anda menyampaikannya ke MK. Ini perlu ada argumentasi karena ujug-ujug langsung menyampaikan ke MK, tolong dielaborasi,” katanya.
Guntur menyarankan perlu ada penambahan frasa “tidak bermaksud menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan banding” disertai dengan alasan dan penjelasan yang memadai.
“Karena orang membaca permohonan saudara seakan-akan dari MA masuk ke MK, kecuali kalau misalnya ada konstitusional komplain, itu tidak ada masalah,” tuturnya.
Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Saldi Isra, ia meminta agar pemohon memikirkan substansi yang dimohonkan tanpa memaksa Mahkamah Konstitusi menilai putusan Mahkamah Agung.
Saldi menyarankan agar dalil permohonan pemohon menjelaskan alasan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dihitung ketika pencalonan, bukan ketika pelantikan tanpa perlu mengulik putusan MA.
“Mengapa penghitungan syarat dihitung ketika pencalonan bukan ketika pelantikan. Itu yang perlu dipikirkan tanpa perlu menyebut putusan MA,” kata Saldi.*
Laporan Syahrul Baihaqi