Senin, 15 September 2025
Menu

PDIP Hadirkan Mahfud MD di Pelatihan Tim Pilkada Nasional

Redaksi
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP menghadirkan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam pelatihan tim pemenangan Pilkada 2024 | dok. PDIP
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP menghadirkan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam pelatihan tim pemenangan Pilkada 2024 | dok. PDIP
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP menghadirkan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam pelatihan tim pemenangan Pilkada 2024. Hal itu dilakukan untuk membangun semangat antikorupsi dalam pelaksanaan Pilkada.

Di hadapan lebih dari 600 kader yang merupakan tim pemenangan pilkada, Mahfud menegaskan selain elektabilitas, moralitas menjadi hal utama bagi setiap calon kepala daerah untuk dapat menjaga keutuhan bangsa.

“Dalam pilkada ini kan perlu elektabilitas dan moralitasnya si calon bagaimana, ini yang perlu diperhatikan. Jangan melihat elektabilitas saja tanpa moralitas, itu berbahaya. Akan tetapi, moralitas tanpa elektabilitas, itu ya tidak akan terpilih. Jadi harus diperhatikan keduanya,” kata Mahfud saat menjadi pembicara pada Pelatihan Tim Pemenangan Pilkada PDIP di Bogor, Jawa Barat, Selasa, 2/7/2024.

Mahfud mengatakan, PDIP merupakan contoh aset bangsa yang terus berusaha menciptakan modal sosial yang baik dengan menerapkan politik tanpa mahar. Ia mencontohkan, saat Pilpres 2024 yang lalu, ketika dirinya diusung sebagai cawapres, partai berlambang banteng itu tidak meminta uang sepeser pun kepada darinya.

“Saya yakin jika melalui jalur resmi PDI Perjuangan di pilkada itu tanpa mahar politik, contoh saya di Pilpres 2024 lalu sama sekali tidak diminta sepeser pun, padahal kita tahu biaya saksi besar sekali. Nah, itu hal yang baik, karena bagaimanapun politik uang itu nantinya bisa menyebabkan praktik-praktik korupsi,” ujarnya.

Mahfud bercerita, banyak kasus korupsi yang menjerat para kepala daerah di Indonesia disebabkan maraknya praktik politik uang pada proses pilkada. Praktik politik uang tersebut biasanya muncul dari proses mahar politik. Bahkan, pada saat kepala daerah masih dipilih oleh DPRD pada era awal reformasi, proses politik uang juga terjadi, yaitu jual beli kursi DPRD.

“Undang-Undang Pemerintah Daerah terus berubah. Saat aturan pilkada dipilih DPRD dan terjadi banyak politik uang jual beli kursi, maka diubah aturan menjadi pilkada langsung dipilih masyarakat melalui Undang-Undang 32 Tahun 2004. Nah, ternyata pada praktiknya juga lebih mahal, karena bukan lagi beli kursi ke DPRD, tetapi bayar mahar ke partai,” ungkapnya.

“Setelah pilkada langsung, ada laporan dari Kemendagri pada 2012, yaitu 62 persen kepala daerahnya itu korupsi. Nah, katanya saat itu penyebabnya karena pemilihan langsung saat itu disampaikan oleh Mendagri, karena biaya pilkada langsung itu lebih banyak daripada pemilu DPRD. Bahkan, laporan KPK tahun 2020 mengidentifikasi, 84 persen kemenangan calon di pilkada itu dibiayai cukong, bukan biaya sendiri,” imbuhnya.

Mahfud menjelaskan, beberapa modus praktik korupsi kepala daerah, antara lain mark up dan mark down proyek, kolusi dengan vendor dalam bentuk kick back, korupsi di bidang perizinan, pemerasan dalam rekrutmen pejabat daerah dan pegawai, kolusi dengan DPRD untuk memuluskan satu kebijakan atau proyek, hingga penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) saat menjelang pilkada.

“Mari kita hindari praktik politik uang, agar praktik korupsi bisa dihindari saat kita menjabat kepala daerah. Dengan demikian, kita bisa mewariskan bangsa kita yang berkah ini ke generasi-generasi selanjutnya dengan yang baik,” bebernya.

Ihwal penegakan hukum di Indonesia yang dinilai banyak pihak saat ini banyak diubah bahkan cenderung disalahgunakan untuk menyerang lawan politik penguasa. Mahfud menegaskan, sepanjang sejarah, tidak ada ketidakadilan yang berlangsung lama.

“Saudara semua harus menang untuk memperbaiki hukum yang seperti ini. Kalau sudah terlalu parah, misalnya kita dihalangi menang, diintimidasi, dan lain-lain, percayalah teori bahwa kebusukan itu tidak akan berlangsung lama. Tidak ada ketidakadilan yang berlangsung terus-menerus. Dalam agama Islam diajarkan, jika orang jahat bersekongkol dengan orang jahat maka mereka akan saling bertengkar satu sama lain, akan saling mengkhianati, bisa saja kita diberikan kekuatan untuk melawan persekongkolan itu. Ini hukum alam, sunnatullah,” tandasnya.*

Laporan M. Hafid