Jumat, 25 Juli 2025
Menu

Pakar: Putusan MK Condong Menilai Prosedural Tanpa Keadilan Substantif

Redaksi
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 hari ini, Senin (22/4/24) Pukul 09.00 WIB. | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 hari ini, Senin (22/4/24) Pukul 09.00 WIB. | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pancasila (UP) Prof Agus Surono mengatakan, kelima hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 lebih condong menilai pembuktian prosedural tanpa menilai keadilan substantif.

Agus menilai, semestinya kelima hakim tersebut harus dapat menggali nilai keadilan substantif dengan adanya pelanggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang tidak menindaklanjuti putusan MK Nomor 90. Sehingga, tidak hanya menganggap bahwa pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) tidak terbukti.

“Kelima hakim MK yang menolak lebih condong menilai pembuktian prosedural terkait sengketa hasil pilpres yang menganggap bahwa TSM tidak terbukti. Padahal, mestinya hakim harus dapat menggali nilai keadilan substantif yang dimulai dengan adanya pelanggaran KPU yang tidak menindaklanjuti putusan MK Nomor 90, dengan peraturan KPU tentang syarat pencalonan Presiden/Wakil Presiden,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin, 22/4/2024.

Sementra itu, Agus memandang, tiga hakim lainnya, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih yang memberikan dissenting opinion dinilai lebih progresif karena menganggap adanya keadilan substantif.

“Sedangkan tiga hakim MK yang memberikan dissenting opinion menganggap dan menilai lebih progresif menganggap adanya keadilan substantif,” ujarnya.

Agus menuturkan, dengan putusan yang telah disahkan sudah bersifat final serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, dissenting opinion dari tiga hakim lainnya, bisa dijadikan dasar pengaturan hukum di masa mendatang. Terutama, dalam Undang-Undang (UU) Pemilu, agar memberikan kepastian dan keadilan hukum demokrasi Indonesia.

“Oleh karena rapat permusyawaratan hakim, lima menolak, maka hasil putusan MK itulah yang bersifat final dan binding, dan mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.

“Tetapi, dissenting opinion tiga hakim MK, yang juga termuat dalam putusan tersebut dijadikan dasar pengaturan hukum ke depan terutama dalam UU Pemilu. Kemudian peraturan teknisnya agar memberikan kepastian dan keadilan hukum demokrasi Indonesia yang akan datang,” ucapnya.

Lebih lanjut, menanggapi pertanyaan publik terkait pengajuan dissenting opinion yang justru bukan diajukan Asrul Sani.

Padahal, selama ini masyarakat mengetahui bahwa Asrul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berkoalisi dengan Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) mendukung paslon nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Agus menegaskan bahwa saat Asrul Sani akan menjadi hakim MK, justru didukung oleh partai politik (parpol) Koalisi Indonesia Maju (KIM).

“Waktu jadi Hakim MK, kan didukung partainya 02,” tandasnya.*

Laporan Ari Kurniansyah