Tolak Gugatan Penggunaan Ganja Medis, MK Minta Revisi UU

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait legalitas ganja untuk pengobatan. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang putusan yang digelar si Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu 20/3/2024.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan.
Gugatan yang dimaksud ialah gugatan yang teregister dengan Nomor 13/PUU-XXII/2024. Gugatan itu diajukan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Pipit Sri Hartanti dan seorang karyawan swasta bernama Supardji.
Keduanya ingin agar ganja medis dapat digunakan sebagai terapi pengobatan. Namun sebagaimana diketahui, penggunaan dan pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kesehatan di larang oleh sejumlah peraturan.
Oleh sebab itu para pemohon meminta agar Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1976 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tak dimaknai sebagai ‘protokol yang mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 hingga Protokol Sesi ke-63, termasuk di dalamnya document commission on narcotic drugs 63rd session, Vienna, 2 – 6 March 2020 yang menggunakan simbol dokumen E/CN.7/2020/CRP.9’.
Tetapi MK menolak gugatan tersebut. MK berpendapat bahwa Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1976 saling berkaitan dengan Pasal 48 Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Menurut MK, sikap atau keputusan pemerintah untuk tidak terlibat dalam menerapkan Konvensi Tunggal Narkotika merupakan bagian dari kebijakan politik luar negeri yang berdaulat.
“Hal tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia berdaulat dalam membangun sinergi dan kerja sama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan narkotika yang dilakukan secara terarah, maksimal dan kolaboratif,” ucap Hakim MK Daniel Yusmic dalam membacakan pertimbangan.
MK berpandangan, pilihan kebijakan luar negeri tersebut menunjukkan sikap tegas pemerintah dalam melindungi segenap Bangsa Indonesia.
Mahkamah menjelaskan, meskipun penggunaan narkotika untuk penggunaan medis telah dilakukan di beberapa negara, hal tersebut tidak serta merta dapat dijadikan sebagai parameter bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima oleh semua negara.
Dikaji dan Diakomodir dalam Perubahan Aturan
MK mengungkapkan bahwa mereka masih memegang pendiriannya, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020. Narkotika Golongan I, hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, karena berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
“Belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka keinginan untuk menjadikan ganja atau zat kanabis untuk layanan kesehatan, sekali lagi, ihwal tersebut sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya,” ujar hakim MK lainya, Guntur Hamzah.
Meski menolak gugatan tersebut, MK meminta pemerintah untuk segera melakukan pengkajian secara khusus, mendalam dan komprehensif mengenai penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia. Hal ini guna memastikan isu tersebut dapat selesai dan terjawab secara ilmiah.
Setelah dilakukan kajian, MK ingin pembentuk undang-undang mengakomodir revisi UU terkait, melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sebab, semakin banyak aspirasi yang datang dari masyarakat terkait kebutuhan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan dan alasan kemanusiaan.*
Laporan Syahrul Baihaqi