Rabu, 17 September 2025
Menu

Disinggung di Debat Ketiga, Utang Luar Negeri Bak Pedang Bermata Dua

Redaksi
Ilustrasi utang luar negeri. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ilustrasi utang luar negeri. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Utang luar negeri (ULN) merupakan salah satu pemasukan untuk membiayai program pembangunan di Indonesia. Namun di sisi lain, ada potensi di mana negara ataupun organisasi pemberi utang dapat mengintervensi kedaulatan negara.

Dalam sesi Debat Ketiga Pilpres 2024, moderator bertanya kepada calon presdien (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto soal cara menghindari intervensi kedaulatan Indonesia karena utang.

Prabowo menjawab, ULN Indonesia masih tergolong aman dengan mengacu pada produk domestik bruto (PDB) sebesar 40 persen. Angka itu tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain.

“Saya tidak terlalu khawatir negara lain mau intervensi soal utang. Kita sangat di hormati, mereka sangat hormat dengan Indonesia. Kita tidak pernah gagal (bayar) hutang,” ucap Prabowo di Debat Ketiga, Minggu 7/1/2024.

Ia juga menegaskan bahwa kekuatan keamanan perlu ditingkatkan agar Indonesia tidak dapat diintervensi maupun diintimidasi. Baginya, dengan kekuatan militer, negara dapat disegani oleh para pemberi utang.

Tetapi, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo tak sependapat. Menurutnya, negara harus lebih bijak dan berhati-hati dalam ULN. Mengutip buku ‘Confession of Economic Hit Man’ karya Joyn Perkins, Ganjar menyebut banyak negara runtuh karena terjebak dalam mengambil utang.

Ganjar menekankan pentingnya penggunaan kekuatan dalam negeri untuk mendorong ekonomi tumbuh sebesar 7 persen. Selain itu, menurutnya pemerintahan harus menerapkan praktik anti-korupsi. Ganjar yakin, dengan skema ini Indonesia dapat membangun industri pertahanan dalam negeri tanpa bergantung pada ULN.

“No utang, no usang. Sehingga alutsista, kita lakukan transfer teknologi dari dalam negeri,” katanya.

Capres nomor urut 1, Anies Baswedan juga tak setuju dengan Prabowo. Menurutnya, ULN Indonesia tak terbilang aman, karena presentase utang luar negeri harus di angka 30 persen dari PDB Indonesia.

Anies menyebut bahwa skema ULN harus dilakukan dengan cara kreatif, salah satunya dengan pelibatan swasta. Selain itu, kata dia, perluasan wajib pajak juga sangat dibutuhkan untuk memperkuat PDB Indonesia.

Hal lain yang ia tegaskan adalah ULN harus digunakan untuk hal produktif. Ia lantas menyindir Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang memakai ULN untuk membeli alutsista bekas.

“Itu bukan suatu hal yang tepat, justru harus sebaliknya,” tuturnya.

 

Kondisi ULN Indonesia

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan posisi utang pemerintah per November 2023 sebanyak Rp8.041,01 triliun. Jumlah ini naik sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yaitu sebesar Rp7.950,52 triliun. Dengan begitu, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,15 persen.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara menyebutkan, rasio utang maksimal 60 persen dari PDB dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal 3 persen dari PDB. Jika mengacu pada hal itu, tentunya catatan tersebut masih berada di bawah batas aman utang pemerintah.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohamad Faisal berpendapat bahwa ukuran aman atau tidaknya suatu utang tidak bisa menggunakan satu indikator belaka. Ia mengungkapkan, ULN tidak hanya bisa dilihat dari seberapa besar rasio utang terhadap PDB.

Faisal membenarkan jika rasio utang Indonesia terhadap PDB berada di bawah negara tetangga, bahkan negara maju seperti Amerika dan juga Jepang. Menurutnya, ini tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan perekonomian dunia.

Berdasarkan pada data Trading Economics (2022), rasio utang pemerintah Amerika Serikat terhadap PDB sebesar 129 persen dan Jepang sebanyak 264 persen. Sedangkan beberapa negara tetangga, Singapura punya rasio utang 168 persen, Malaysia 60,40 persen, dan Thailand 60,96 persen.

Ia mencontohkan, Jepang memiliki rasio utang ke PDB yang tembus hingga 200 persen. Meski tergolong besar, kata dia, sebagian besar utang yang dimiliki Jepang merupakan utang dalam negeri.

“Jadi, kepemilikan utang ini juga harus dilihat dari asalnya. Kalau dia semakin besar proporsi utang luar negerinya, atau dari obligasi, tetapi obligasinya asing, maka makin rentan terhadap guncangan-guncangan eksternal,” ucap Faisal kepada Forum Keadilan, Senin 8/1.

Indikator lainnya, kata dia, ialah melalui pertumbuhan utang dibandingkan dengan pertumbuhan pajak. Ia berpendapat, peningkatan pajak Indonesia masih relatif terbatas dibandingkan dengan penambahan utang. Apalagi, kata Fahmi, sejak pandemi terdapat akselesari penambahan utang dibandingkan pertumbuhan pajak.

Maka dari itu, pemerintah melalui Kemenkeu sempat ‘membuka’ batas waktu defisit APBN di atas 3 persen sampai masa Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selesai pada 2023. Faisal menyebut, setelah PEN usai defisit APBN harus kembali di bawah angka 3 persen.

“Ini menunjukan bahwa pemerintah mesti berhati-hati dalam menambah utang. Apalagi ULN, di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang yang pertumbuhan pajaknya terbatas,” sambungnya.

Indikator terakhir yang menjadi tolak ukur ialah Debt to Service Ratio (DSR). Rasio ini menunjukan kemampuan sebuah negara untuk menunaikan kewajibannya dalam membayar utang. Dalam hal ini, kata dia, jumlah besaran utang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor barang dan jasa.

Berdasarkan dara Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) pada November 2023 lalu, DSR tier-1 pada kuartal III naik menjadi 17,7%. Angka ini meningkat pada kuartal II sebanyak 17,37%. Fahmi menilai, DSR masih sangat riskan karena penerimaan ekspor tidak sebanding dengan pertumbuhan utang, terutama di masa pandemi.

“Jadi, untuk mengatakan utang itu aman hanya dari indikator pada persentasi PDB, ini sangat- sangat simplifikasi,” terangnya.

Apalagi, sambungnya, standar aman terkait ‘threshold‘ ULN masih diperdebatkan oleh banyak negara. Sehingga, tidak ada satu tolak ukur yang pasti.

Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membenarkan bahwa rasio ULN memang masih di bawah batas maksimum dari PDB. Meski begitu, kata Bhima, pemerintah tidak bisa mendorong rasio ULN mendekati batas yang sudah ditentukan. Pemerintah perlu mencermati bunga utang yang harus dibayarkan setiap tahunnya.

“Kalau bunga utang nyaris Rp500 triliun tahun ini, maka porsinya terhadap belanja sosial kan sudah lebih dari 100 persen. Itu tidak sehat,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Senin 8/1.

Presiden terpilih, menurutnya harus berhati-hati dalam penambahan utang baru ke depan. Bukan malah bersemangat menambah utang baru. Hal ini untuk mencegah terjadinya potensi intervensi terhadap utang Indonesia, berkaca pada kasus krisis moneter 1998.

Waktu itu, ucap Bhima, terdapat program yang bernama Structural Adjustment. Program yang digarap oleh International Monetary Fund (IMF). Kemudian, IMF mendikte Indonesia dengan melakukan privatisasi berbagai aset strategis.

“Kemudian Indonesia juga didikte secara tidak langsung oleh pinjaman dari Cina. Termasuk terkait infrastruktur dan hilirisasi yang faktanya 90 persen produk hasil hilirisasi nikel diekspor ke Cina,” sambungnya.

Dalam riset Celios yang berjudul ‘Bagaimana Menghindari Kualitas Investasi yang Rendah dan Jebakan Utang?’, dapat dilihat bahwa Indonesia harus menyiapkan strategi mitigasi untuk menghindari jebakan utang atau debt trap.

Pada tahun 2022, utang negara ke Cina mencapai angka USD 20,225 atau sekitar Rp315,1 triliun. Celios memperkirakan jumlah utang Indonesia akan semakin meningkat dengan diiringi masuknya proyek inisiatif jalur sutra ekonomi atau belt and road initiative (BRI).

Beberapa proyek BRI di Indonesia diantaranya ialah jalan dan jalur kereta api, seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung, Jalan Balikpapan-Samarinda. Kemudian pembangunan PLTU batubara, yaitu PLTU Mulut Tambang Sumsel 8, Paito Unit 9, dan Celukang Bawang.

Proyek BRI juga merambah ke pembangunan PLTA, yaitu Bendungan Nusa Tenggara Timur, Bendungan PLTA Batang Toru, dan PLTA Sungai Kayan. Terakhir ialah pembangunan industri, seperti Morowali Industrial Park, Tanah Kuning Industrial Park, Likupang Economic Zones, dan lainnya.

Di samping itu, terdapat kekhawatiran resiko gagal bayar utang yang dapat menyebabkan kerugian lebih besar di masa mendatang. Apalagi Cina memberikan pembenahan skema kredit yang tinggi. Negara Sri Lanka yang pernah terlibat dalam proyek BRI, juga dinyatakan gagal bayar terkait proyek pembangunan pelabuhan Hambantota.

Untuk itu, Bhima menegaskan bahwa Indonesia bisa masuk dalam jebakan utang dan akan membayar biaya yang lebih mahal. Nantinya, infrastruktur maupun sumber daya alam bisa diintervensi dan diprioritaskan untuk kepentingan negara pemberi utang.*

Laporan Syahrul Baihaqi