Kamis, 21 Agustus 2025
Menu

Ketika Komedian Bersatir dari Kursi Parlemen

Redaksi
Ilustrasi Gedung DPR/MPR RI | Ist
Ilustrasi Gedung DPR/MPR RI | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E Ayat 3 mengamanatkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Mandat ini membuka ruang bagi rakyat Indonesia menyampaikan kritik, saran, serta solusi kepada penyelenggara negara lewat berbagai macam cara dan gaya penyampaian yang konstitusional tentunya.

Ruang ini pula yang dimanfaatkan para komedian Indonesia sebagai wadah kritik dalam menyampaikan keresahan sosial maupun politik dengan cara satir.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), satir adalah gaya bahasa untuk menyatakan sindiran ke seseorang atau terhadap sesuatu, dengan maksud untuk mengancam, atau juga menertawakan sebuah gagasan, kebiasaan, dan lain sebagainya.

“Pemilu masih lama tapi banner udah nutupin jalan,” celetuk Wendi Cagur memancing reaksi rekan seprofesinya.

“Baliho-baliho pejabat. Jangankan di jalan, di lokasi bencana saja banyak,” sahut Andhika Pratama.

Komedian sekaligus animator Ryan Adriandhy juga sempat menilai bahwa karakter budek yang diperankan oleh pelawak Bolot merupakan sindiran untuk pemerintah.

Lewat akun Twitter-ya, Ryan mengatakan jika karakter Bolot adalah satir kepada wakil rakyat yang tidak pernah mendengar aspirasi masyarakat.

“Duo Malih & Bolot adalah satir terhadap rakyat & wakil rakyat. Malih selalu pakai baju biasa sementara Bolot selalu pakai seragam pejabat. Komedi mereka mensatirkan bagaimana pejabat pemerintah tidak pernah dengar (budeg) suara rakyat kecuali pembicaraannya soal uang & perempuan,” tulis Ryan, Senin, 20/6/2022.

Alfiansyah alias Komeng pun mengiyakan sikap komedian yang kerap bersatir untuk menyindir pemerintah. Hal itu pula yang membuatnya maju menjadi bakal calon anggota DPD Jawa Barat (Jabar) dalam Pemilu 2024. Komeng mengaku ‘lelah’ bersatir dari dunia komedi, namun tak didengar.

“Seniman tuh selalu bersatir, mungkin tidak mempan dengan satire-satire. Apakah dari DPD ini bisa untuk mewujudkan satire tersebut. Saya juga belum tahu karena belum mencoba,” kata Komeng di Kantor KPU Jawa Barat, Sabtu, 13/5/2023.

Komeng mengaku keikutsertaannya pada Pileg 2024 ini juga ingin menghidupkan dunia seni di Jabar, termasuk menggeliatkan lagi gedung-gedung kesenian.

“Mudah mudahan lewat situ InsyaAllah saya akan menghidupkan semua gedung kesenian yang ada di Jawa Barat, biasanya kalau nggak salah tiap kabupaten/kota tuh ada,” jelasnya.

Selain Komeng, beberapa nama komedian yang maju dalam Pileg 2024, yakni Denny Cagur yang mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif dari PDIP, lalu Narji lewat PKS, hingga Rony Immanuel alias Mongol Stress melalui PSI.

Kemunculan komedian di Senayan sebenarnya bukan lah hal yang baru. Komedian dari grup lawak Patrio, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio misalnya. Ia telah melewati tiga periode sebagai anggota legislatif.

Eko mengaku mendapat pandangan negatif serta ujaran kebencian di awal kiprahnya sebagai anggota legislatif. Namun, hal itu tidak dia jadikan sebagai ancaman yang berarti.

“Walaupun orang nyinyir kayak apa pun juga. Tapi gua merasa, ya wajar, Eko sudah di dalam. Justru karena di dalam, akhirnya gua merasa gua banyak manfaat, jadi buat gua, ya sudah. Ya mungkin setiap manusia punya jalannya sendiri-sendiri, gitu,” tuturnya kepada wartawan.

“Gua sih, ya sudah, gua mau di dalam. Gua yang penting bisa bermanfaat,” sambungnya.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai sah-sah saja para komedian tersebut ikut partisipasi politik.

Kendati demikian, kata Ujang, popularitas para komedian di panggung hiburan tidak menjamin keandalan mereka di dunia politik. Para komedian itu perlu diiimbangi dengan kapabilitas dan intuisi dalam berpolitik agar mereka tak hanya berperan sebagai faktor untuk mendulang suara partai politik.

“Apakah mereka punya potensi menang, tergantung. Kalau ingin menang ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama mereka sudah memiliki popularitas, dan itu bagus. Tetapi popularitas itu harus diimbangi dengan elektabilitas yang tinggi, kedua itu. Jadi kalau mengandalkan popularitas populer saja itu tidak cukup kalau tidak memiliki elektabilitas,” kata Ujang kepada Forum Keadilan, Sabtu, 29/7.

“Makanya banyak artis di masa lalu yang hanya mengandalkan popularitas di masa lalu mereka kalah, baik sebagai caleg maupun sebagai calon kepala daerah. Kenapa? Karena hanya mengandalkan popularitas. Tetapi kalau komedian itu mengandalkan popularitas plus yang kedua adalah elektabilitas maka mereka akan menang,” katanya lagi.

Kata Ujang, untuk menaikan elektabilitas, para caleg ini biasanya membutuhkan isi tas atau uang yang tidak sedikit. Mengingat mereka selebriti seharusnya hal itu bisa diatasi.

“Jadi kalau popularitasnya punya, uangnya dikeluarkan, ya dia akan jadi atau mereka akan jadi. Tetapi hanya mengandalkan popularitas saja, misalkan uang tidak mau keluar atau isi tasnya tidak mau keluar, ya tidak akan jadi. Rumusnya seperti itu,” jelas Ujang.

Ujang mengakui ada beberapa selebriti di parlemen yang tidak hanya mengandalkan popularitas, namun juga memperlihatkan kemampuan mereka. Salah satu artis yang dinilai Ujang bagus dalam menjadi wakil rakyat ialah Anggota DPR RI Komisi X Dede Yusuf.

“Ya saya sih melihat ada yang berpengaruh positif ada juga yang tidak. Yang berpengaruh positif itu adalah artis-artis yang bagus, misalkan ada Dede Yusuf, itu bagus ya artis tapi paham, apa kinerjanya, paham kerjanya, apa yang harus dilakukan. Memang mungkin terlihat cerdas, karena memang sebelumnya juga pernah jadi Wakil Gubernur Jawa Barat,” sebut Ujang.

Menurut Ujang pun tak ada yang tidak bagus, hanya belum kelihatan atau terdengar.

“Banyak artis yang nggak keliatan, nggak kedengeran, nggak bagus itu nggak ada. Jadi saya melihatnya ada yang bagus ada yang tidak begitu. Tidak bisa dipukul rata seperti itu,” tandasnya.*