Minggu, 14 September 2025
Menu

Dewas KPK Dijuluki Tim Khusus Penghapus Dosa Firli Bahuri

Redaksi
Eks Ketua KPK Firli Bahuri | ist
Eks Ketua KPK Firli Bahuri | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN- Rekam jejak Firli Bahuri di KPK, baik sebelum maupun sesudah menjadi Komisioner, mencatatkan rekor tak terkalahkan dalam hal jumlah dan jenis pelanggaran etik bahkan hingga dugaan pidana.

Sebut saja ketika ia berlenggang bebas untuk bertemu saksi dan pejabat: mulai dari bertemu petinggi parpol, bertemu TGB (mantan Gubernur NTB) saat Pemprov NTB sedang diperiksa KPK, hingga bertemu Lukas Enembe saat akan diperiksa KPK. Selain itu, ia juga dilaporkan terkait permasalahan etik ketika mencopot Brigjend Endar hingga dugaan pembocoran dokumen KPK.

Namun, seperti punya imunitas, Firli selalu berhasil lolos dari segala sidang etik apalagi sanksi berat atas beragam perbuatan tidak terpujinya. Dewan Pengawas KPK yang seharusnya bertindak garang terhadap segala kenjanggalan di tubuh lembaga anti-rasuah tersebut justru kehilangan tajinya ketika berhadapan dengan Firli. Hal ini sangatlah timpang bila dibandingkan dengan betapa garangnya ketika memecat 57+ pegawai KPK dengan skema TWK.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani menyebut, gimmick revisi UU KPK dengan dalih perbaikan lembaga yang digaungkan Menkopolhukam Mahfud MD kian terbongkar. Apa yang dilakukan selama ini terbukti hanyalah sebatas koar-koar untuk menutupi kebobrokan yang sebenarnya.

Sebagai turunan dari revisi UU KPK, keberadaan Dewan Pengawas yang diisi oleh Tumpak H. Panggabean (Ketua), Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris, diharapkan menjadi penjaga gerbang KPK.

Namun, meskipun awalnya gencar dipromosikan, nama besar tersebut justru bengong bergeming di hadapan janggalnya aturan terkait kewenangan pro-justitia (penyidikan) berupa izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, padahal fungsinya pengawasan.

Belakangan, pengumuman hasil pemeriksaan terkait kebocoran dokumen juga menimbulkan banyak pertanyaan. Selain dari segi substansi keputusan Dewan Pengawas yang janggal, juga dari segi linimasa. Pertama, terjadi beberapa kali penundaan.

Kedua, ada nuansa seolah-olah pengumuman dilakukan untuk “merespon” perkembangan pemeriksaan dugaan pidana di Polda Metro Jaya yang tersebar di berbagai media yang dikabarkan telah naik ke tahap penyelidikan dan dipastikan telah ditemukan unsur pidananya.

Jika benar demikian, maka patut diduga kuat bahwa hasil pemeriksaan etik Dewan Pengawas merupakan suatu tindakan Obstruction of Justice yang diatur dalam pasal 221 KUHP Ayat (1) karena mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses hukum di Polda Metro Jaya. Dewan Pengawas KPK seolah-olah menjadi tim cuci dosa Ketua KPK.

Dari rentetan kejadian di atas, semakin jelas kekhawatiran masyarakat sipil terhadap revisi UU KPK, di mana Dewan Pengawas hanya sebatas gimmick belaka karena tidak terbukti betul-betul mengawasi dan memperbaiki kebobrokan KPK.

“Bahkan, kejadian-kejadian belakangan ini telah mengarah pada tindak pidana akibat dugaan kuat adanya obstruction of justice akibat menghalangi proses hukum di Polda Metro Jaya,” kata Julius.

Obstruction of Justice dapat dimaknai lewat kata “mencegah, merintangi, atau menggagalkan” dengan 3 (tiga) kriteria, yakni: Pending judicial proceedings (proses hukum menjadi tertunda), Knowledge of pending proceedings (kesadaran akan akibat berupa proses hukum tertunda), dan Acting corruptly with intent (upaya dengan maksud mengintervensi ataupun mengganggu proses atau administrasi hukum).

“Keputusan Dewan Pengawas yang “mengunci” dugaan pidana oleh Firli di ranah etik dan menyatakan tidak ditemukan kesalahan, dapat menggagalkan rumusan “mens rea” atau itikad buruk suatu tindak pidana yang sedang diusut oleh Polda Metro Jaya. Di sini titik krusial yang jadi kuncinya,” tutur Julius.

Oleh sebab itu, penting bagi Polda Metro Jaya dengan kewenangannya untuk memeriksa Dewan Pengawas beserta seluruh substansi hasil pemeriksaannya, agar ditelisik apakah ada dugaan Obstruction of Justice yang terjadi. Tidak sebatas koordinasi formalitas belaka.

Presiden Jokowi kata Julius, seharusnya melihat problem ini secara mendalam dan holistik. Sudah terlalu banyak dugaan pelanggaran yang menimbulkan keonaran di ruang publik, yang menyebabkan turunnya kepercayaan publik secara drastis. Bukan hanya terhadap KPK, tapi khususnya terhadap Presiden Jokowi.

Implikasi Putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Komisioner KPK tidak boleh jadi beban Presiden Jokowi yang dianggap melanggengkan kepemimpinan Firli Bahuri di KPK yang banyak masalah dan kisruh di ruang publik.

PBHI menegaskan bahwa seleksi Komisioner KPK harus tetap ada. Tidak memberlakukan Putusan MK secara surut jadi titik kunci perbaikan KPK ke depannya. Selain itu, PBHI juga menilai bahwa susunan keanggotaan Dewan Pengawas yang sekarang harus ditata ulang sebab telah menjadi bagian dari kekisruhan itu sendiri