Istilah ‘Raja Jawa’ dan Loyalitas Bahlil kepada Jokowi

FORUM KEADILAN – Pengamat sosial dan politik dari The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menilai, istilah ‘Raja Jawa’ yang disebut Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia adalah simbolisme politik.
Adinda berpendapat, ‘Raja Jawa’ yang dimaksud Bahlil adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahlil menggunakan istilah itu untuk mengingatkan anggota dan faksi-faksi di Partai Golkar agar berhati-hati terhadap Presiden Jokowi.
“Kalau menurut saya, kalau melihat statement Bahlil mengenai ‘Raja Jawa’, dia mengarah ke Jokowi Widodo, seperti peringatan atau hati-hati,” kata Adinda kepada Forum Keadilan, Senin, 26/8/2024.
Menurut Adinda, istilah ‘Raja Jawa’ pernah disematkan kepada Presiden ke-1 RI Soekarno dan Presiden ke-2 RI Soeharto. Istilah ini kental dengan kekuasaan absolut rezim Orde Lama dan Orde Baru, serta sifat feodal di mana presiden dianggap sebagai raja, sementara menteri dan orang dekatnya dianggap sebagai punggawa.
“Kalau penggunaan Raja Jawa saya rasa kita ingat orde baru atau orde lama sangat kental politik Jawa yang dikaitkan dengan kerajaan Jawa dan para punggawa yang mereka percayai,” katanya.
Adinda membaca bahwa Bahlil ingin menunjukkan loyalitasnya kepada Presiden Jokowi, terutama setelah diberikan jabatan strategis sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta dipilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Airlangga Hartarto.
“Bisa jadi ketika Bahlil mengatakan itu, ia ingin memuja-muji ‘Raja Jawa’ tersebut menunjukkan loyalitasnya apalagi baru dipilihkan reshuffle kemarin sebagai Menteri ESDM yang merupakan jabatan strategis. Apalagi dalam posisinya sebagai Ketua Umum Golkar pastinya ia menunjukkan Partai Golkar senantiasa menyanjung Sang Raja,” katanya.
Adinda juga menilai bahwa Bahlil memberikan peringatan tersirat kepada seluruh kader agar tidak membuat manuver atau pemberontakan.
“Sekaligus sebagai peringatan terhadap mereka yang bandel,” ucap dia.
Dalam menghadapi politik yang cenderung terpusat, Adinda berharap lembaga legislatif atau oposisi dapat menjadi penyeimbang. Demokrasi yang kuat, kata dia, diperlukan untuk melawan oligarki dan politik feodal dalam pemerintahan.
“Saya mengingatkan bahwa untuk melawan oligarki atau politik feodal dibutuhkan demokrasi yang kuat oleh masyarakat, di mana check and balance berjalan baik,” katanya.
Bahlil mencetuskan istilah ‘Raja Jawa’ dalam pidatonya saat dilantik sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dengan peringatan agar tidak main-main dengan sosok ini.
“Jadi kita harus lebih paten lagi. Soalnya ‘Raja Jawa’ ini kalau kita main-main celaka kita. Saya mau kasih tahu saja jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini. Saya kasih tahu, sudah, waduh ini, dan sudah banyak, sudah lihat kan barang ini kan, ya tidak perlu saya ungkapkan lah,” katanya.*
Laporan Reynaldi Adi Surya