FORUM KEADILAN – Sejumlah kampus di Indonesia mulai menyuarakan keresahan serta kritik penurunan demokrasi di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tetapi, pemerintah terkesan malas menanggapi kritik yang dilontarkan para akademisi.
Gerakan ini berawal dari Petisi Bulaksumur yang disampaikan oleh sejumlah guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu, 31/1/2024. Mereka meminta Presiden dan jajarannya agar kembali ke koridor demokrasi.
Gerakan ini lantas disusul oleh Universitas Islam Indonesia (UII) yang langsung dipimpin oleh Rektor UII Fathul Wahid. Tidak lama setelahnya, Universitas Indonesia (UI) melakukan geberakan serupa dengan ‘Seruan Kebangsaan’.
Selain ketiga kampus ini, beberapa civitas akademik juga menyuarakan keresahan yang serupa. Mereka menyoroti terkait persoalan etika juga dugaan keterlibatan aparat dalam Pemilu 2024.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro menyesalkan tindakan menyimpang yang dilakukan Presiden Jokowi di masa akhir pemerintahannya. Apalagi, kata dia, Jokowi sendiri adalah bagian dari keluarga besar UGM.
“Tindakan Presiden Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi,” ucap Koentjoro saat membacakan petisi Bulaksumur.
Melalui petisi tersebut, mereka mendesak DPR dan MPR untuk mengambil sikap serta langkah konkret guna menyikapi berbagai gejolak politik yang terjadi pada pesta demokrasi 2024.
Sementara itu, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Harkristuti mengaku, pihaknya merasa terpanggil untuk menabuh genderang dan juga memulihkan kemunduran demokrasi di negeri ini.
“Kami prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi dan hilangnya etika bernegara. Negeri kami nampak kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa,” ucapnya, Jumat 2/2.
Dalam ‘Seruan Kebangsaan’ tersebut, mereka juga menyerukan agar semua perguruan tinggi di seluruh tanah air mengawasi dan mengawal secara ketat pelaksanaan pemungutan suara serta penghitungannya di wilayah masing-masing.
Menanggapi kritik yang terus datang dari civitas akademika, Presiden Jokowi menganggap bahwa hal tersebut merupakan hak demokrasi.
“Ya itu hak demokrasi, setiap orang boleh berbicara berpendapat, silakan,” ucap Jokowi selepas acara Kongres XVI Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta, Jumat 2/2.
Di sisi lain, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana menyebut, dalam negara dengan iklim demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat, seruan, petisi maupun kritik haruslah dihormati. Apalagi, kata dia, Presiden juga telah menegaskan soal kebebasan bersuara.
“Kritik adalah vitamin untuk terus melakukan perbaikan pada kualitas demokrasi di negara kita,” ucapnya melalui keterangan tertulis, Jumat 2/2.
Menurutnya, perbedaan pendapat dan perspektif merupakan hal yang sangat umum dalam demokrasi. Apalagi, kata dia, menjelang pemilu pertarungan opini pasti terjadi.
“Akhir-akhir ini, terlihat ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral,” katanya.
Meski begitu, lanjut Ari, strategi politik partisan hal yang dapat ditolerir dalam kontestasi politik. Namun, ia menekankan bahwa dalam pertarungan opini, harus dibangun budaya dialog yang substantif.
“Presiden tetap berkomitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai nilai-nilai Pancasila dan koridor konstitusi,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Delia Wildianti membantah pernyataan Ari Dwipayana. Menurutnya, kritik kampus bukanlah orkestra kepentingan politik tertentu.
Ia berpendapat bahwa kritikan yang diserukan para Guru Besar, terutama di UI, berawal dari keresahan yang sama terhadap kondisi politik akhir-akhir ini, di mana terdapat dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pemerintah. Hal tersebut, kata dia, tidak dapat diabaikan.
“Deklarasi ini harus menjadi alarm bagi pemerintah, apabila pemerintah hari ini masih menghendaki keutuhan negara serta pemilu yang berjalan secara damai, adil, dan jujur,” ucap Delia saat dihubungi Forum Keadilan, Minggu 4/2.
Ia berharap Presiden masih memiliki marwah sebagai seorang negarawan. Menurutnya, negarawan bekerja untuk kepentingan negara dengan memperhatikan etika politik dan menjunjung tinggi hukum secara substantif.
“Negarawan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu dan kelompok,” tuturnya.
Sementara itu Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, ketidakpekaan pemerintah terhadap kritik yang disampaikan masyarakat telah mencapai puncaknya. Ia bahkan menyebut, rezim ini masih cenderung melihat sebuah kritik datang dari lawan politiknya yang memiliki ambisi politik.
Pemerintah menganggap, seruan dan kritikan dari para civitas akademika dianggap hanya sebagai suara yang lewat sesaat. Padahal, kata Firman, kritikan tersebut datang tanpa ada campur tangan politik praktis apapun.
Firman menilai, seharusnya pemerintah mengundang para akademisi dan berdiskusi, sekaligus mencari solusi atas permasalahan yang terjadi saat ini. Jadi, tak ayal kalau ia menduga rasa kepedulian pemerintah sudah hilang dan mati.
Ia berpendapat, seruan para akademisi di seluruh Indonesia berpotensi menjadi sebuah gelombang atas ketidaksukaan terhadap pemerintahan Jokowi. Sebab, Jokowi dianggap tidak pernah baik dalam merespons kritik yang ada selama ini.
“Artinya akan terjadi semacam gelombang, mungkin tidak besar, unjuk ketidaksukaan terhadap rezim yang tidak direspons dengan bijak oleh rezim itu sendiri,” terangnya kepada Forum Keadilan, Minggu 4/2.
Gelombang kritik yang diserukan semakin menguatkan bahwa terdapat satu hal yang salah di pemerintahan selama berjalan.
“Ini kemudian akan menjadi landasan bagi kelompok lain, seperti mahasiswa, untuk melakukan hal yang sama,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah baru akan bergerak ketika terjadi hal genting yang mengganggu posisi politiknya. Menurutnya, ini merupakan akumulasi dari sebuah rezim yang terbiasa dibela sehingga menganggap dirinya sebagai juru kebenaran.
“Kalau suatu rezim sudah terbiasa dibela, meski salah sekalipun, itu lama-lama menjadi kedap terhadap sikap dan masukan kritis,” katanya.
Ia berujar bahwa sejarah pernah mencatat di mana presiden pertama sekaligus Proklamator Bangsa jatuh karena dilindungi oleh ‘inner circle’ yang selalu membelanya. Hal tersebut juga kembali terulang saat Presiden Soeharto jatuh dari puncak kekuasaannya.
“Ini juga pasti jatuh dalam pengertian baik, melalui ajang pemilu atau tidak,” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi