Civitas Academica UIN Jakarta Desak Presiden Jokowi dan Aparat Negara Netral

Civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat membacakan Seruan Ciputat pada Senin, 5/2/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan
Civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat membacakan Seruan Ciputat pada Senin, 5/2/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Civitas academica yang terdiri dari Guru Besar, dosen, mahasiswa, dan alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan sikap pada Pemilu 2024.

Dalam pernyataan sikap yang kemudian dikenal dengan “Seruan Ciputat” itu mengkritik penyelenggara pemilu, serta meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta aparat penegak hukum bersikap netral.

Bacaan Lainnya

“Menimbang dan memperhatikan perkembangan penyelenggaraan Pemilu atau Pilpres 2024, dan umumnya pengelolaan pemerintahan serta demokrasi yang beradab dan beretika, maka kami alumni dan civitas academica UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, menyatakan sikap,” kata Guru Besar Bidang Politik UIN Jakarta Saiful Mujani di Ciputat, Tangerang Selatan, Senin, 5/2/2024.

Terdapat lima sikap yang dibacakan Saiful Mujani. Pertama, mendesak penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) agar bekerja secara profesional dan bertanggung jawab.

Menurut Mujani, para penyelenggara pemilu harus berpegang pada prinsip independen, transparan, jujur dan adil. Selain itu, penyelenggara pemilu tidak boleh memihak pada paslon tertentu dan mampu menghadapi intervensi dari pihak mana pun.

“Berani menegakkan aturan dan memastikan semua pelanggaran pemilu diselesaikan dengan semestinya sesuai aturan. Bahkan jika itu dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa di Indonesia,” ujarnya.

Kedua, Mujani mendesak agar Jokowi dan aparatur sipil negara (ASN) serta aparat penegak hukum bersikap netral pada Pemilu 2024. Baginya, Jokowi wajib netral dan memfasilitasi seluruh aktivitas pemilu berdasar prinsip keadilan.

“Sikap ini lebih dari sekadar tidak menggunakan fasilitas negara. Netral dalam hal ini bukan saja tidak mengutarakan pilihan politiknya, tapi juga seluruh sikap dan laku diri sebagai presiden. Terutama tidak membuat kebijakan yang dapat berdampak menguntungkan secara elektoral bagi paslon tertentu,” terangnya.

Ketiga, direktur lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) itu juga mendesak Jokowi agar mengelola pemerintahan secara tepat demi kepentingan bangsa, bukan demi kepentingan keluarganya sendiri dan kelompok lainnya.

Menurut Mujani, belakangan ini Jokowi seakan bertindak mengutamakan kepentingan elektoral salah satu paslon. Baginya, hal itu bukan sikap seorang presiden sebagai negarawan.

“Situasi ini bukan saja dapat berdampak pada pelayanan pemerintah secara nasional, tapi juga menimbulkan ketidaksolidan dan hari demi hari, yang diperlihatkan adalah tindakan yang cenderung sebaliknya, menambah kepiluan dalam pelaksanaan pemilu atau pilpres dan pengelolaan keadaban demokrasi kita,” ucapnya.

Mujani menilai, langkah Jokowi tersebut membuat para menteri merasa tidak nyaman. Hal itu juga dianggap akan berdampak pada stabilitas nasional.

“Padahal, berulangkali Presiden mengingatkan agar kita semua bergembira dalam menghadapi penyelenggaraan Pemilu atau Pilpres 2024 ini,” katanya.

Mujani dalam point keempat juga menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara nomor 90 soal batas usia capres-cawapres.

Putusan MK tersebut, menurut Mujani, menjadi cerminan bahwa pengelolaan pemerintahan dan Konstitusi dilakukan secara tidak beradab. Perkara ini, lanjutnya, tidak boleh dipandang hanya sebatas peraturan tertulis dan boleh tidak boleh.

“Keadaban atau akhlak demokrasi kita terus menerus merosot. Presiden sebagai kepala negara berkewajiban untuk menjaga dan menjadi contoh bagaimana keadaban atau akhlak berdemokrasi itu menjadi laku kehidupan bernegara,” tegasnya.

Point kelima, Mujani yang mewakili civitas academica tersebut mendesak kepolisian untuk bersikap independen dan profesional. Polisi, menurutnya, tidak boleh menjadi alat negara yang menimbulkan rasa takut terhadap warga negara dalam mengekspresikan sikap politiknya, serta tidak gampang mempidanakan sikap kritis masyarakat.

“Polri adalah alat negara untuk menegakan hukum dan ketertiban. Bukan alat Presiden. Maka dan oleh karena itu, Polri sudah seharusnya bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan untuk kepentingan pemerintah atau pihak-pihak tertentu,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid

Pos terkait