Longsornya Demokrasi Indonesia di Periode 2 Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato di Rapat Konsolidasi Persiapan Pemilu, Sabtu 30/12/2023 | Youtube Sekretariat Negara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato di Rapat Konsolidasi Persiapan Pemilu, Sabtu 30/12/2023 | Youtube Sekretariat Negara

FORUM KEADILAN – Banyak kalangan dari akademisi maupun organisasi masyarakat sipil menilai periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai ujian terberat bagi demokrasi. Mereka sepakat iklim demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Di fase perdana Jokowi menjabat Presiden, komposisi parlemen cukup seimbang. Koalisi Jokowi mendapat 337 kursi, dan partai oposisi sebanyak 223 kursi.

Bacaan Lainnya

Namun, keseimbangan itu tak bertahan di periode kedua pemerintahannya. Prabowo Subianto, rival politik Jokowi selama dua kali kontestasi pencoblosan, merapat ke pemerintahan.

Koalisi gemuk pun terbentuk dan mengubah wajah lembaga parlemen periode kedua. Partai koalisi Jokowi menempati 427 kursi parlemen, sedangkan partai oposisi hanya sebanyak 148 kursi.

Koalisi gemuk tak berarti baik. Penggelembungan kekuasaan eksekutif (executive aggrandisement) seperti ini merupakan salah satu pola paling umum dari regresi demokrasi. Ibaratnya, pemerintah mengikis kekuatan lembaga yang berwenang dalam mengontrol kekuasaannya.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Pengajar Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini. Ia dengan tegas mengatakan, salah satu syarat demokrasi ialah pengawasan terhadap pemerintahan atau check and balances.

“Sayangnya, yang terjadi kemarin ialah kita krisis kekuatan penyeimbang. Kita krisis kekuatan kontrol. Akhirnya kebijakan-kebijakan terbentuk menjadi kebijakan yang dilahirkan oleh kelompok mayoritas tanpa peran kontrol yang memadai,” ucap Titi saat ditemui Forum Keadilan di Universitas Paramadina, Kamis 21/12/2023.

Ia menjelaskan, kebijakan yang terbentuk tanpa kontrol penyeimbang cenderung merugikan rakyat. Contohnya, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan juga UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan beragam aturan lainnya.

Menurut Titi, hal ini terjadi karena ada salah kaprah pada salah satu budaya politik di Indonesia, yaitu politik merangkul.

Titi menjelaskan, budaya politik merangkul ini tidak hanya diterapkan Jokowi, melainkan juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pemerintahan keduanya.

Harusnya, kata Titi, budaya politik merangkul berjalan sewajarnya. Praktik ini, mestinya tak menghilangkan kekuatan penyeimbang untuk mengontrol jalannya kekuasaan.

“Mentalitas untuk menjaga kekuatan penyeimbang harus dipelihara oleh pemimpin politik, baik yang sedang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Supaya tahan menjadi kekuatan penyeimbang. Karena mereka membawa suara rakyat,” terangnya.

 

Sebuah Regresi Nyata

Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia cenderung stagnan dalam dua tahun terakhir yaitu sebesar 6,71 poin pada 2022 dan 2021. Hanya saja, Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dan posisi Indonesia pun turun ke peringkat 54 dari 167 negara di dunia.

Sementara itu, kualitas demokrasi di Indonesia versi Freedom House juga menurun drastis. Pada tahun 2013 skor demokrasi Indonesia sebesar 65. Kemudian turun ke angka 59 pada 2022. Oleh karenanya, Freedom House ‘mencap’ demokrasi Indonesia sebagai “partly free” atau belum sepenuhnya demokratis.

Selain itu, regresi demokrasi juga telah diramal oleh beberapa Indonesianis dan akademisi dalam kumpulan esai yang disunting oleh Thomas Power dan Eve Waburton berjudul ‘Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression’.

Esai tersebut menjelaskan secara detail bagaimana kemunduran demokrasi di Indonesia terjadi dari berbagai aspek. Meskipun telah berjalan selama 20 tahun lamanya, para penulis sependapat bahwa demokrasi tidak terkonsoloidasi dengan baik dan justru beranjak ke jurang iliberalisme.

Dalam diskusi catatan akhir tahun soal kondisi demokrasi dan HAM yang digelar Kamis 28/12/2023, Koalisi Masyarakat Sipil juga setuju. Mereka memandang, demokrasi di era Jokowi mengalami kemunduran yang sangat signifikan.

Beberapa indikasinya yaitu, adanya bentuk kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan demokrasi, pengabaian atas pelanggaran HAM. kemudian puncaknya, ialah memanfaatkan lembaga peradilan tertinggi untuk kepentingan pribadi.

Sekretaris Jendral Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina menilai, kemunduran demokrasi dimulai setelah Pemilu 2019. Di mana saat itu, terdapat konsolidasi antara peserta pemilu.

Perempuan yang akrab disapa Monik ini berpendapat kalau demokrasi Indonesia telah menjadi demokrasi illiberal. Salah satu indikatornya, dengan memanfaatkan lembaga negara menjadi instrumen kekuasaan.

Ia mencontohkan soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023 atas uji materi Pasal 169 huruf q tentang UU Pemilu. Sebagaimana diketahui, putusan ini disebut-sebut sebagai karpet merah putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

“Puncaknya ialah pembajakan MK dan penambahan batas syarat pencalonan,” ucap Monik Kamis 28/12.

Sedangkan, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyatakan bahwa kemunduran demokrasi adalah sesuatu hal yang nyata. Bukan sekadar omong kosong belaka.

Ia menganggap, demokrasi yang sedang dipraktikkan di Indonesia hanya sebatas prosedural. Demokrasi ini mengacuhkan hal substantif seperti penegakkan hak asasi dan kebebasan berekspresi.

Dirinya juga menyoroti arah kebijakan Jokowi yang cenderung developmentalis. Menurutnya, kebijakan-kebijakan tersebut hanya menekankan pada aspek pembangunan ekonomi dan kerap mengabaikan hak asasi. Contohnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kerap bersinggungan langsung dengan rakyat.

Lantas, apakah demokratisasi hanya sebatas rangkaian formalitas perjalanan politik di setiap pemilu? Padahal, publik berharap peran pemilu jauh lebih besar dari sekedar mencoblos. Pemilu yang jujur, bebas dan adil jadi lentera untuk mengevaluasi masa lalu.

Soal itu, Direktur Eksekutif Setara Institute Halil Hasan juga setuju. Menurutnya, demokrasi harus di kontrol, dan kontrol terakhir yang bisa dilakukan rakyat ialah melalui Pemilu 2024. Oleh sebab itu, rakyat harus memiliki taji agar kekuasaan politik tidak bertumpuk di satu orang saja.

“Rakyat akan melaksanakan fungsi kontrol otentik yang dibutuhkan, agar ekosistem demokrasi Indonesia membaik dan kembali ke jalur konsolidasi demokrasi yang seharusnya,” ucap Halil.

Titi pun sependapat. Salah satu cara merebut kembali demokrasi memang melalui pemilu. Untuk itu, ia minta agar pemilu tidak dijadikan sekedar ritual.

“Masyarakat perlu digugah kesadarannya untuk mengawasi setiap seluruh tahapan pemilu. Bukan sekadar menjadi objek,” katanya.

Ia juga menekan agar penyelenggara pemilu dapat memastikan aturan main berlaku adil. Tidak ada kecurangan, dan penegakan hukum berjalan sebagai mestinya.

Begitu juga dengan birokrasi dan aparat keamanan. Berlaku netral lah dan tidak memihak ke paslon tertentu.

“Publik juga harus peduli pada rekam jejak dan peduli pada gagasan peserta pemilu,” terangnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait